Oleh Bayu Adji Prihammanda
Wartawan Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Tatap matanya masih kosong. Ia hanya diam di sebuah kursi, di SDN Cigeulis 1, Desa Cigeulis, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang. Melamun meski di antaranya orang-orang saling berbicara.
Tasmar (38 tahun), yang mengenakan kupluk di kepalanya, masih juga diam. Istrinya, Mutmainah (40), mengatakan suaminya mengalami trauma akibat tsunami yang menyapu rumahnya di Desa Citeureup, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Sabtu (22/12).
Mutmainah saat ditemui Republika.co.id di lokasi pengungsian, Selasa (25/12), bercerita, kejadian tsunami terjadi dengan cepat, tanpa aba-aba. Malam itu, ia bersama suami, dua anak, dan adiknya, baru saja makan malam bersama. Tak lama, terdengar suara hujan dan gemuruh angin dari arah laut.
Ketika Mutmainah membuka pintu untuk melihat, air telah ada di depan matanya. Dus, gelombang masuk ke dalam. Ia pun terseret air ke dalam rumah. Tasmar yang kaget langsung menyelamatkan istri dan anaknya. Mereka pun langsung melarikan diri.
Malam itu, banyak warga yang melarikan diri. Beberapa dari mereka juga membawa kendaraannya. Mutmainah bersama adik, anak, dan suaminya, mencoba menyetop para pengendara. Namun, tak ada yang mau berhenti.
Mereka pertama melarikan diri ke Kantor Kecamatan Panimbang. Namun, tempat itu sepi. Alhasil, mereka melanjutkan pelarian ke Kecamatan Cigeulis, dan berakhir di SDN Cigeulis 1.
"Ada kali malam itu kita jalan 10 kilometer," kata ibu yang hanya mengenakan daster berwarna oranye itu di posko pengungsian.
Ia mengatakan, petugas menyarankan para pengungsi baru bisa pulang pada Rabu (26/12). Tasmar sudah beberapa kali pulang kembali ke rumahnya. Menurut Mutmainah, sebagian rumahnya rusak terempas gelombang. Sementara itu, barang-barangnya masih berada di rumahnya.
Namun, ia masih bingung akan nasib ke depan. Sebab, perahu milik suaminya telah rusak tergulung tsunami.
"Perahu ancur, jaring dan mesin hilang. Kita masih bingung bagaimana untuk selanjutnya," keluhnya.
Mutmainah juga masih takut untuk kembali ke rumahnya. Takut akan terjadinya tsunami susulan. Kaki Mutmainah juga masih memar karena terkilir terkena tsunami pertama. Di sisi lain, dirinya bersama anak-anak sudah tak betah berada di pengungsian.
Setelah lama terdiam, Tasmar buka suara juga. Ia yakin, meski masih sedikit trauma, akan kembali melaut setelah bencana usai. Namun, ia berharap pemerintah mau membantu nelayan yang perahunya rusak akibat terjangan tsunami.
"Kalau saya itu digantiin mah perahu saya akan terus nelayan. Karena memang bisanya nelayan. Gak punya jalan untuk usaha di daratan," ujar dia.
Menurut dia, untuk bisa memiliki perahu, nelayan harus lebih dulu menabung lama. Sebab, harga menbangus satu perahu tidaklah murah, berkisar Rp 80 juta hingga Rp 100 juta.
Tasmar yakin, nelayan merupakan jalan hidupnya. Baginya, adanya bencana adalah teguran bagi manusia. "Sudah cukup segini aja musibah bangsa kita itu," doa dia.
Opik Sutaria (35), yang juga seorang nelayan dari Desa Citeureup juga bertekad untuk kembali lagi ke laut jika kondisi sudah memungkinkan. Sebab, laut itulah tempat dirinya mencari nafkah selama ini.
"Saya pasti melaut lagi. Kita mah namanya bencana gak tau," kata dia.
Bahkan, menurut dia, ketika terjadi bencana justru lebih aman di tengah laut ketimbang di daratan. Pendapat itu didasarkan fakta banyak temannya yang selamat dari bencana saat sedang melaut pada Sabtu malam.
"Insya alloh saya yakin kembali ke laut. Selama masih sehat pasti terus," kata dia.
Ketika tsunami terjadi, Opik mengaku memancing pada siang harinya. Menurut dia, kondisi laut saat itu masih normal hingga ia kembali sore harinya.
Ihwal Gunung Anak Krakatau, ia mengatakan, setiap hari memang sudah aktif. Namun, sejak Jumat hingga Sabtu, menurut dia, terjadi peningkatan aktivitas yang ditandai dengan banyaknya lahar yang keluar ketika letusan.
Ia mengaku sedang berada di rumah ketika tsunami terjadi. Teriakan warga yang membuatnya keluar dan segera mengungsi. Tsunami tak sampai ke rumahnya lantaran jaraknya lumayan jauh dari bibir pantai.
"Air sih gak sampe rumah, hanya sampai pasar," kata dia.
Menurut dia, kejadian ini harus dapat dijadikan pelajaran, bukan hanya untuk masyarakat sekitar, melainkan juga bagi manusia. "Ini teguran. Semua mesti sadar. Yang namanya alam kita tidak tahu," kata dia.
Salah satu nelayan senior, Rosihan juga yakin, akan kembali ke laut. Sebab, laut adalah tempatnya tumbuh. Dari belia hingga memiliki tiga orang cucu, ia mencari nafkah sebagai nelayan.
"Rezeki saya dari laut," kata pria yang saat itu mengenakan kemeja berwarna hijau itu.
Menurut dia, bencana adalah risiko yang harus dihadapi. Bukan hanya bagi orang-orang yang bekerja di laut, melainkan semua jenis pekerjaan memiliki risiko masing-masing.
"Insyaallah kembali (ke laut). Kita rezekinya dari laut, ya kembali ke laut. Bencana itu ya hadapi saja," ujar dia.