REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suasana di pertigaan Jalan Karang Balong, Cilandak, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, kelihatannya sama saja dengan pertigaan jalan pada umumnya. Namun, ada yang menarik perhatian jika kita memperhatikan para pengatur lalu lintas yang ada di pertigaan jalan tersebut.
Tiga orang yang bertugas dengan kompak itu terlihat komat kamit. Jemari lincah bergerak, sesekali diikuti gerang mulut, namun tanpa suara. Ya, mereka, para pengatur lalu lintas di kawasan itu, memang mengalami gangguan berbicara. Mereka bisu alias tunawicara.
Meski tak bisa berbicara layaknya orang normal, mereka tidak menjadikan alasan itu sebagai halangan untuk bekerja. Pengatur lalu lintas pun menjadi pilihannya.
Bagi mereka, pekerjaan sebagai pengatur lalu lintas merupakan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang meski mereka tidak dapat berbicara. Saat mengarahkan kendaraan yang akan berbelok atau keluar-masuk halaman parkir ruko, mereka terkadang menggunakan bahasa isyarat serta ekspresi wajah. Sesekali terdengar teriakan terlontar dari mulutnya, namun sulit dimengerti orang pada umumnya.
Salmi, pengatur lalu lintas tunawicara di Jalan Karang Balong, Jakarta Selatan.
Republika.co.id pun sempat berkomunikasi dengan mereka, Senin (7/1). Di lokasi pertigaan Jalan Karang Balong, biasanya terdapat lima pengatur lalu lintas tunawicara. Namun pada hari itu, hanya ada empat orang yang terlihat sedang mengatur lalu lintas kendaraan.
Keempat pengatur lalu lintas itu, terdiri atas dua laki-laki dan dua perempuan. Di antaranya Adam Iskhanna bersama isterinya, Salmi. Lalu ada satu lagi bernama Simson.
Adam Iskhanna, satu di antara mereka yang terbilang paling bisa berkomunikasi. Lelaki yang akrab dipanggil Adam itu bisa berbicara di banding kawan-kawannya, meskipun kadang terlihat dia kesulitan berbicara maupun mendengar. “Di sini biasanya ada lima orang yang ngatur lalu lintas, yang cacatnya empat orang dan satu normal,” ungkap Adam.
Adam pun mengatakan, sistem pengaturan lalu lintas di sini bergiliran waktunya. Mereka pun membuat kesepakatan soal jam kerja. “Kalau masuk pagi, kira-kira ada dua orang mulai ngatur dari pukul 10.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB. Setelah itu ada lagi yang lanjut di pukul 14.00 WIB sampai 18.00 WIB. Terus nanti ada lagi yang lanjutin sampai pukul 21.00 atau 22.00 WIB,” ucap Adam yang tinggal di Pamulang, Tanggerang Selatan.
Adam juga menyampaikan, tempat tinggal dari rekan-rekannya itu berada jauh dari lokasi pertigaan ini. Selain Adam, rekan-rekan yang lain ada yang tinggal di daerah Tebet Jakarta Selatan. Kemudian ada juga yang tinggal di Citayam, Kabupaten Bogor.
Menurut Adam, sebagian dari mereka ada yang naik motor dan ada juga yang naik angkutan kota (angkot). Adam dan rekan-rekannya, mengaku, sudah menjadi pengatur lalu lintas di pertigaan Karang Balong ini sejak dua tahun silam.
Mereka melakukan pekerjaan ini karena buat mencukupi kebutuhan makan sehari-hari serta biaya sekolah anak-anaknya. Dia pun mengaku, pekerjaannya ini sudah mendapat izin dari Polsek Pasar Minggu. Dari bekerja sebagai pengatur lalu lintas, Adam mengaku bisa mendapat penghasilan sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 80 ribu rupiah per hari.