REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Islam dan Transformasi Sosial (CIS Form) UIN Sunan Kalijaga Yogykarta melakukan penelitian tentang sistem produksi guru agama Islam atau pendidikan agama Islam (PAI) di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) baik negeri maupun swasta di Indonesia.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan tujuh temuan tentang kompetensi keislaman, pandangan, dan sikap keagamaan mahasiswa atau calon guru PAI, terutama isu intoleransi dan radikalisme.
Direktur CIS Form UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Wildan, mengatakan temuan pertama, saat ini dibutuhkan guru agama yang mempunyai kompetensi agama yang kuat untuk menangkal penyebaran paham intoleran dan radikal di sekolah-sekolah umum, khususnya SLTA.
Kedua, input dan rekruitmen calon mahasiswa PAI masih memberikan peluang bagi lulusan SMA/SMK umum yang notabene mempunyai keterbatasan keilmuan agama dan kurang memberikan peluang bagi lulusan-lulusan MA atau SMA Islam atau pesantren.
Dia menyarankan sebaiknya diadakan studi yang mendalam tentang kebutuhan guru PAI secara nasional dan dibandingkan dengan output yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di PTKI seluruh Indonesia.
”Ini penting supaya output lebih bisa dikontrol tidak hanya kualitas, tapi juga kualitasnya,” ujarnya di Jakarta, Jumat (11/1).
Ketiga, lanjut Wildan, prodi PAI LPTK cenderung hanya merespons kebutuhan pasar untuk mencetak guru agama SD, SMP, dan SMA. Prodi ini kurang merespons isu-isu agama (Islam) aktual komptemporer.
Menurut dia, fenomena ini terlihat pada kurikulum yang lebih banyak menekankan kompetensi pedagogik daripada kompetensi profesional, yakni keislaman. “Kurikulum kompetensi profesional prodi PAI juga kurang memuat mata kuliah aktual kontemporer dan juga pembelajaran kritis,” ucapnya.
Keempat, dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sebagian besar dosen PAI mempunyai kompetensi bahasa Arab yang rendah dan juga sikap keberagaman yang cenderung intoleran dan eksklusif.
Kelima, kegiatan-kegiatan ekstra kampus hingga lingkungan kampus seperti lembaga dakwah kampus (LDK) dan pesantren mempunyai peran signifikan dalam membentuk pemahaman dan sikap keagamaan mahasiswa calon guru agama.
“Semakin banyaknya mahasiswi bercadar di LPTK merupakan bukti konkret menguatkan kegiatan ekstra kampus,” ungkapnya.
Keenam, beberapa program keagamaan tambahan seperti baca tulis Alquran (BTQ), bahasa Arab, qiraatul kutub, tahfiz, pesantren kilat, pengajian-pengajian di kampus yang bersifat instan dikhawatirkan justru akan mendorong munculnya konservatisme dan kurang mengajarkan Islam yang komprehensif dan cara berpikir kritis dalam beragama.
Terakhir, kata dia, secara umum kompetensi lulusan prodi PAI di LPTK ‘hanya’ sesuai untuk menjadi guru PAI di sekolah umum, bukan untuk madrasah atau sekolah Islam.
Peneliti UIN Sunan Kalijaga, Sekar Ayu Aryani, menambahkan selama pembelajaran di kampus ditemukan inkonsistensi antara dokumen dan wawancara. Saat survei wawancara dosen mengaku menggunakan pembelajar aktif, lalu melakukan research based teaching untuk bahan perkuliahan dan membahas isu keagamaan kontemporer, pentingnya toleransi.
Namun, ungkap dia, yang ditemukan berbeda, di mana dosen saat mengajar masih dominan metode ceramah, produktivitas penelitian hampir tidak menemukan jurnal internasional ada di jurnal nasional tapi sedikit sekali, kurang update materi kuliah, hanya sebagian kecil dosen yang membahas isu keagamaan kontemporer.
Dia menyebut dosen yang mengkaitkan kuliahnya dengan pentingnya toleransi dan bahaya radikalisme hanya jika ada topik berkaitan saja sementara dosen filsafat mengaku single fighter dalam upaya mendorong mahasiswa berpikir kritis.
Menurutnya, mahasiswa membutuhkan keakuratan data untuk menjamin kepastian proses pembelajar yang baik. Hal ini diperlukan mengingat tantangan eksternal seperti paham radikalisme sangat kuat. “Jika input lemah maka harus diimbangi proses pembelajaran yang kuat,” kata dia.
Dia menyarankan pula profesionalisme dosen dalam pengelolaan kelas urgen dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dosen dalam mendorong mahasiswa berpikir kritis karena berpikir kritis bisa ditanamkan selain mata kuliah, soft skills, dan hidden curiculum,” ungkapnya.