REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Ketika di beberapa negara penyiar siaran televisi sedang kewalahan menghadapi Netflix dan layanan streaming lainnya, tidak di Korea Selatan. Perusahaan-perusahaan mencoba bekerja sama untuk saling membantu melawan dominasi raksasa teknologi asal Amerika Serikat tersebut.
Perusahaan penyiaran terbesar Korea Selatan, Seoul Broadcasting System (SBS), Munhwa Broadcasting Corporation (MBC) dan Korean Broadcasting System (KBS), bekerja sama dengan SK Telecom. Mereka membuat jawaban terhadap layanan streaming asal Amerika.
Keempat perusahaan menandatangani nota kesepahaman pekan lalu. Mereka setuju untuk meluncurkan sesuatu yang akan menjadi layanan streaming video rumahan terbesar di negara itu tahun ini.
Keputusan tersebut terjadi di tengah krisis di industri media Korea Selatan. Perusahaan asing seperti Netflix dan YouTube mengambil pangsa pasar yang terus meningkat. Menurut perusahaan riset pasar WiseApp, pengguna bulanan aplikasi seluler Netflix di Korea Selatan mencapai sekitar 900 ribu pada September tahun lalu, hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan pada 2017.
Sebagai tanggapan, penyiaran Korea Selatan menggabungkan layanan streaming video terbesar, yang dikenal sebagai Oksusu dan Pooq. Mereka mengumpulkan dana untuk membuat konten asli yang lebih baik untuk bersaing dengan Netflix.
Oksusu yang berarti "jagung" dalam bahasa Korea dijalankan oleh SK Telecom dan merupakan layanan streaming video terbesar di Korea Selatan dengan sekitar 9,5 juta pelanggan. MBC dan SBS masing-masing memegang 40 persen saham di Pooq, yang memiliki sekitar 3,7 juta pelanggan.
Sementara KBS mengendalikan 20 persen lainnya. Pooq memiliki kemitraan dengan ViuTV Hong Kong, iflix Malaysia, dan iQiyi China, yang akan digunakan layanan streaming baru untuk menargetkan pasar Asia lainnya dengan kontennya. Beberapa pengamat percaya aliansi ini bisa berhasil membuat Netflix keluar.
"Saya pikir para konglomerat di Korea memiliki pengaruh dan pengaturan yang cukup terhadap industri hiburan Korea untuk memiliki kesempatan yang baik dalam mempertahankan pasar," kata profesor teknologi dan kewirausahaan di Universitas Yonsei dan penasihat untuk memulai usaha di Seoul Joseph Lim, dikutip dari SCMP, Selasa (15/1).
Netflix dianggap hanya ancaman kecil ketika memasuki Korea Selatan pada tahun 2016. Hal itu karena layanan streaming masih menawarkan konten lebih Hollywood dan kurang konten lokal. Namun, perusahaan itu pun mengalihkan fokusnya untuk menangkap pemirsa lokal.
Tahun lalu, perusahaan itu menghabiskan hampir 8 miliar dolar AS untuk memproduksi konten asli. Mereka fokus menceritakan kisah-kisah spesifik pada negara tuan rumah dengan menggunakan talenta lokal.
Netflix banyak berinvestasi dalam drama Korea Selatan, "Mr. Sunshine" menjadi pertunjukan dengan nilai tertinggi di negara itu tahun lalu. Seri aslinya yang akan datang "Kingdom" akan menempatkan zombie abad pertengahan di Korea Selatan.
Sebagai perbandingan, Oksusu menghabiskan hanya 10 juta dolar AS tahun lalu untuk konten. Hal tersebut akan berubah dengan kepala eksekutif SK Telecom Park Jung-ho mencari sekitar 180 juta dolar AS dalam investasi awal untuk menghasilkan konten asli baru.
Netflix juga dapat menjadi anugerah bagi pembuat konten dan pembuat film Korea Selatan. Seorang programmer untuk film Korea di Festival Film Internasional Busan, salah satu festival film terbesar di Asia, mengatakan Netflix membantu pembuat film untuk memperluas pilihan mereka.
"Netflix memberi mereka lebih banyak kebebasan untuk berkreasi," katanya, dibandingkan dengan studio film tradisional. Dia mencatat industri film tradisional Korea tidak menyukai Netflix, namun, itu sudah merupakan gerakan yang tidak dapat diubah.
Layanan ini juga menguntungkan sejumlah produsen konten Korea untuk mengglobal. Drama Korea Selatan "Memories of the Alhambra" berharap untuk menarik penonton internasional dengan menyiarkan setiap episode di Netflix satu jam setelah siaran aslinya di TVN jaringan lokal.