Selasa 15 Jan 2019 20:08 WIB

Pengamat: Rencana Prabowo Mundur Nyapres Cuma Gimik Politik

Ancaman Prabowo mundur bertolak belakang dengan latar belakang militernya.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Andri Saubani
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno saat menyampaikan pidato kebangsaan di Jakarta Convention Center, Senin (14/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno saat menyampaikan pidato kebangsaan di Jakarta Convention Center, Senin (14/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menyebut rencana Prabowo Subianto mundur dari Pilpres 2019 hanya gimik politik. Dia tak yakin Prabowo benar-benar akan mundur sebagai calon presiden.

"Itu tentu warning, gertak sambal dari teman Prabowo bahwa KPU, Bawaslu jangan sampai berpihak atau tidak netral," kata Adi Prayitno di Jakarta saat dihubungi, Selasa (15/1).

Menurut Adi, gimik disampaikan menyusul keinginan mantan komandan jendral Kopassus itu akan pemilu yang bersih. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia melanjutkan, Prabowo akan berada dalam resiko besar jika benar-benar batal jadi capres.

Pernyataan Prabowo akan mundur disampaikan Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan calon nomor urut 02 Djoko Santoso. Dia mengatakan, Prabowo akan mundur jika kecurangan dalam pemilu tak bisa dihindari. Ancaman mundur juga menjadi poin dalam pidato kebangsaan Prabowo pada Senin (14/1).

Adi mengatakan, merawat kredibilitas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta menciptakan pemilu yang bersih merupakan tanggung jawab bersama. Pada era teknologi seperti saat ini, dia melanjutkan, semua orang bisa mengakses informasi.

"Arus informasi semakin bebas diakses, semua orang bisa mempletototi proses pemilu, saya kira netralitas KPU dan Bawaslu cukup telanjang ya untuk bisa dinilai. Beda dengan zaman dahulu," kata Adi.

Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan The Habibie Center Bawono Kumoro menilai sikap mundur dari kontestasi pemilihan presiden bertolak belakang dengan latar belakang Prabowo sebagai mantan prajurit. Dia mengatakan, seorang mantan prajurit harus memiliki jiwa siap menang dan siap kalah bukan justru mundur.

"Kalau mundur itu artinya kalah sebelum bertanding," kata Bawono.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melarang keras pasangan calon untuk mengundurkan diri. Pasal 236 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bakal pasangan calon dilarang mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU. Jika masih bersikeras untuk mengundurkan diri maka sanksi pidana dan denda menanti pasangan calon bersangkutan.

Sebagaimana ditegaskan Pasal 552 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, "Setiap calon Presiden atau Wakil Presiden dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp 50 juta".

Pimpinan partai politik koalisi juga akan terkena sanksi pidana dan denda serupa. Pasal 552 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur, "Pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang dengan sengaja menarik calonnya dan atau pasangan calon yang sudah ditetapkan KPU sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama akan dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp 50 miliar".

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement