REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ronggo Astungkoro, Dian Fath Risalah
JAKARTA -- Kabar pembebasan murni terpidana terorisme Ustaz Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dipersoalkan Menko Polhukam Wiranto. Ia kemarin menyatakan bahwa pembebasan tersebut masih akan dikaji lebih mendalam oleh pejabat-pejabat terkait.
Dalam konferensi pers pada Senin (21/1) petang, Wiranto menjelaskan sebetulnya, keluarga Ba'asyir telah mengajukan permintaan pembebasan yang bersangkutan pada 2017 lalu. Permintaan tersebut diajukan dengan pertimbangan usia terpidana kasus terorisme tersebut sudah lanjut dan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk.
"Atas dasar pertimbangan kemanusiaan, Presiden sangat memahami permintaan keluarga tersebut. Namun, tentunya masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya," ujar Wiranto dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Senin (21/1).
Aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut tersebut, di antaranya mengenai aspek ideologi Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan hukum.
Dengan menimbang aspek-aspek tersebut, kata Wiranto, Presiden Joko Widodo memerintahkan pejabat terkait untuk melakulan kajian secara lebih mendalam. "Presiden memerintahkan kepada pejabat terkait untuk segera melakukan kajian secara lebih mendalam dan komprehensif guna merespons permintaan tersebut," katanya.
Konferensi pers yang dilaksanakan selepas azan Maghrib itu disampaikan dengan pemberitahuan pendahuluan yang mendadak. Wiranto menyatakan, setelah konferensi pers, tak ingin ada spekulasi-spekulasi lain yang berkembang tentang Ba'asyir.
Pada kesempatan kemarin, Wiranto tidak menjawab pertanyaan wartawan tentang jadi atau tidaknya Abu Bakar Ba'asyir dibebaskan dengan jelas. "Inilah penjelasan resmi setelah saya melakukan kajian, melakukan rapat koordinasi, bersama seluruh pejabat terkait," Wiranto menjelaskan.
Sebelum digelarnya konferensi pers kemarin, Wiranto dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat dikabarkan dipanggil mendadak ke Istana Bogor oleh Presiden Jokowi. Awak media sempat tak diperkenankan memasuki kompleks istana sehubungan kabar tersebut. Kendati demikian, menjelang sore, pihak Istana Negara, Kemenko Polhukam, ataupun Kemenkumham menyatakan bahwa pemanggilan itu diundur waktunya.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami, mengatakan, hingga kemarin pembebasan Ba'asyir belum bisa dipastikan. "Masih dalam proses," kata Utami singkat kepada Republika, Senin (21/1).
Utami tidak menjelaskan secara detail, sudah sampai mana tahap proses pembebasan Abu Bakar Ba'asyir. Sementara, Kabag Humas Ditjen Pas Ade Kusmanto menyatakan, pihaknya belum menerima surat apa pun dari Presiden tentang pembebasan Ba'asyir.
“Sampai saat ini, Ditjen Pas belum menerima surat keputusan terkait grasi Astaz ABB," ujar Kabag Humas Ditjen Pas Ade Kusmanto, Senin (21/1).
Hingga kemarin, menurut dia, belum ada juga usulan pembebasan bersyarat yang diusulkan kalapas Gunung Sindur ke Ditjen Pas. Dengan demikian, Ba'asyir dipastikan masih menjalani pidana di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
Pembebasan Ba'asyir mulanya disampaikan kuasa hukum kepresidenan Yusril Ihza Mahendra saat mengunjungi Lapas Gunung Sindur di Kabupaten Bogor, Jumat (18/1) pekan lalu. Ia mengatakan, pembebasan Ba’asyir atas instruksi Presiden Joko Widodo dengan pertimbangan kemanusiaan mengingat usia Ba'asyir yang sudah mencapai 80 tahun dan kondisinya yang sakit-sakitan.
Yusril juga menyatakan sudah berkoordinasi dengan sejumlah lembaga/kementerian terkait agar membebaskan murni Ba’asyir. Hasilnya, kata Yusril kala itu, proses administrasi pembebasan murni Ba’asyir akan dilakukan pada Senin (21/1).
"Sudah pasti keluar. Artinya, sudah lebih dari dua pertiga (masa hukuman) sudah harus dibebaskan dan tidak dibebani syarat-syarat yang yang memberatkan beliau," ungkap Yusril.
Menurut Yusril, Ba’asyir tak bersedia menandatangani dokumen syarat pembebasan, seperti kesetiaan pada Pancasila. Hal itu, menurutnya, sudah dijelaskan kepada Presiden yang kemudian memaklumi hal tersebut dan tetap memerintahkan pembebasan.
"Sudah dijelaskan kepada Pak Jokowi dan Pak Jokowi memaklumi sehingga tidak perlu ada syarat-syarat yang memberatkan," kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut.
Presiden Joko Widodo tak menampik klaim tersebut. Pada hari yang sama, ia menekankan, pembebasan Ba’asyir dilakukan atas pertimbangan kemanusiaan. Presiden mengatakan, pembebasan tersebut sudah melalui pertimbangan yang panjang.
"Pertimbangan dari sisi keamanan dengan Kapolri, dengan pakar, terakhir dengan Pak Yusril. Tapi, prosesnya nanti dengan Kapolri," kata Jokowi.
Ia menambahkan, berbagai pertimbangan sudah dibahas sejak sekitar setahun lalu.
Belakangan sejumlah pihak menyoal ketaksediaan Ba’asyir meneken kesetiaan pada NKRI dan Pancasila. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto menyatakan, kesetiaan pada Pancasila adalah hal mutlak bagi warga negara RI. Ia juga meminta Presiden menimbang aspek hukum tersebut terkait pembebasan Ba’asyir.
PDIP bersikeras setiap warga negara harus setia pada Pancasila dan NKRI. Partai besutan Megawati Soekarnoputri itu menegaskan warga yang bersikap sebaliknya dipersilahkan meninggalkan Nusantara.
"Sekiranya tidak mau punya komitmen yang kuat tehadap NKRI sebagai kewajiban warga negara, ya dipersilahkan untuk jadi warga negara lain," kata Hasto di tengah Safari Kebangsaan kelima di Jakarta, Ahad (20/1)