Dalam beberapa pemilu terakhir, jumlah pemilih yang tak menggunakan suaranya terus meningkat. Dengan polarisasi politik yang semakin emosional saat ini, angka Golput diprediksi akan semakin membesar.
Data KPU menunjukkan pemilih terdaftar yang tak memilih dalam pemilu 2009 sebanyak 48,3 juta orang. Angka ini meningkat menjadi 58,9 juta pada 2014, atau 30,4 persen dari sekitar 190 juta pemilih.
Pada pemilu 2019 ini, KPU menetapkan jumlah pemilih 192.828.520 orang. Jika tren Golput sama dengan pemilu sebelumnya pun, diperkirakan sekitar 60 juta pemilih yang tidak akan memilih.
Namun jika tren itu naik jadi 40 persen, bisa dipastikan justru "suara" Golput akan lebih besar dari kemungkinan perolehan suara masing-masing Capres.
Angka Golput 40 persen setara dengan 77.131.408 suara. Artinya, kedua capres hanya memperebutkan sekitar 115 juta suara, dengan survei yang menyebutkan selisihnya tidak akan besar.
"Kalau jumlah Golput cukup signifikan, 40 persen dari pemilih, tekanan untuk melakukan perubahan pun makin besar," kata Farid Gaban, aktivis yang selama ini giat mengampanyekan Golput.
"Ketika orang makin tak suka dengam polarisasi Pilpres yang cenderung emosional, jumlah Golput akan makin besar," katanya kepada Farid M Ibrahim dari ABC News.
Upaya KPU dan pihak lainnya menekan dan mengecam pemilih yang sengaja tak mau memilih, menurut Farid, malah akan menjadikan Golput semakin besar.
Kekhawatiran naiknya jumlah Golput terlihat dari kampanye sejumlah tokoh untuk mengajak masyarakat tidak Golput, dengan berargumen bahwa surat suaranya nanti disalahgunakan pihak tidak bertanggungjawab.
Namun menurut Farid, keinginannya untuk Golput justru semakin kuat saat ini. "Itu didorong oleh kekecewaan saya pada sistem politik dan kepartaian di Indonesia," ujarnya.
"Sistem kepartaian kita buruk. UU Kepartaian mengharuskan parpol bersifat nasional (dengan pengecualian di Aceh). Partai seperti itu membutuhkan biaya besar, dan hanya kaum oligarki yang bisa membentuknya," papar mantan jurnalis Tempo dan Republika ini.
Kolusi parpol dengan pengusaha pun, katanya, tak lagi terhindarkan. "Seringkali bahkan pengusaha jadi politisi juga," kata Farid.
Dia mengusulkan parpol dibiarkan tumbuh dari bawah, partai lokal, tanpa harus ikut pemilu dulu. Kehadirannya, pertama-tama untuk pendidikan politik dan advokasi kebijakan publik.
"Bisa ikut pemilu tapi hanya di level kabupaten atau propinsi saja... Jika mereka bagus, bisa naik kelas ke level nasional," paparnya.
Kecewa dengan polarisasi masyarakat
Selain alasan kekecewaan pada sistem, dorongan jadi Golput juga muncul akibat polarisasi dan permusuhan para pendukung Capres yang ada saat ini.
Sebuah kelompok Golput yang menamakan diri Saya Millenial Golput (SMG) mendeklarasikan diri di Jakarta pertengahan Januari 2019 lalu.
SMG berdalih, melalui jubirnya Saifa El Faruqi, pasangan capres sekarang tidak memberikan pendidikan politik yang baik.
"Mereka mengedepankan permusuhan dan saling fitnah sehingga kami tidak melihat program apa yang akan dijalankan," katanya kepada wartawan.
Sepekan kemudian di kantor YLBHI Jakarta, juga digelar deklarasi Golput dari sejumlah elemen LSM.
Salah seorang yang ikut deklarasi yaitu Lini Zurlia, yang dalam Pilpres 2014 mengaku bergabung dengan tim pendukung Joko Widodo.
Kepada wartawan, Lini menyatakan kekecewaannya setelah Jokowi memilih Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya.
Kekecewaan para pendukung Jokowi, di mata pakar Indonesia dari Western Sydney University Dr Zulfan Tadjoeddin, merupakan salah satu faktor yang akan mendorong orang jadi Golput.
Dia menjelaskan, dalam Pilpres 2014 lalu muncul fenomena "Golput turun gunung" untuk mendukung Jokowi yang dipandang sebagai "new hope" yang akan melawan "old establishment".
"Golput yang sejak Orde Baru apatis, dalam Pilpres 2014 aktif kembali (dalam politik) dan mendukung Jokowi," jelas Dr Zulfan kepada ABC News.
Namun di Pilpres 2019 kali ini, katanya, antusiasme tersebut justru berubah menjadi gerakan sebaliknya.
"Mereka kecewa dengan beliau, karena setelah empat tahun di puncak kekuasaan eksekutif, banyak melakukan blunder policy yang tidak seiring dengan harapan mereka," katanya.
Di mencontohkan kompromi yang dilakukan Jokowi dengan kelompok konservatif, termasuk menggandeng Ma'ruf Amin sebagai cawapres serta rencana membebaskan Abu Bakar Baashir.
"Menurut saya, hal itu lebih sebagai damage control daripada upaya menarik simpati baru," kata Dr Zulfan.