Selasa 13 Feb 2024 14:10 WIB

Ketua MUI: Menerima Serangan Fajar Hukumnya Haram

MUI imbau semua pihak dukung Pemilu 2024 berjalan lancar.

Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh.
Foto: Republika/Fuji E Permana
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof Asrorun Niam Sholeh menyampaikan bahwa pelaku atau penerima serangan fajar hukumnya haram. Menurut dia, uang yang diterima dari serangan fajar tersebut juga tidak berkah.

Memilih pemimpin harus didasarkan pada pertimbangan kompetensi mengemban amanah kepemimpinan guna mewujudkan kemaslahatan. Setelah mendengar visi misi calon dalam masa kampanye, kata dia, sudah saat masyarakat berkontemplasi dan memilih sesuai hati yang jernih, serta meminta petolongan Allah SWT agar diberi pemimpin yang shidiq, amanah, tabligh, dan fathanah.

Baca Juga

Prof Niam mengatakan, masayrakat tidak boleh memilih pemimpin karena sebab sogokan atau pemberian harta semata. Menurut dia, orang yang mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih.

“Seperti menyuap atau dikenal dengan serangan fajar hukumnya haram. Menerima sogokan politik yang kemudian mendorong orang untuk memilih orang yang tidak kompeten hukumnya haram,” ujar Prof Niam dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (13/2/2024).

Pemilu merupakan instrumen untuk mewujudkan tujuan bernegara, yang di antaranya adalah mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan umum. Menjelang pencoblosan pada Rabu (24/2/2024) besok, dia pun mengajak kepada seluruh masyarakat untuk menjaga kondusifitas.

“Mari jaga kondusifitas jelang pelaksanaan pemilu untuk mewujudkan pesta demokrasi yang damai, adil, jujur, dan bermartabat, serta jauh dari perilaku curang, intimidatif, koruptif, dan tindak melanggar hukum lainnya,” ucap guru besar bidang ilmu fikih ini.

Dalam sistem politik Indonesia, lanjut dia, setiap warga negara diberi hak untuk memilih. Hak tersebut harus digunakan secara baik dan bertanggung jawab dalam mewujudkan kepemimpinan publik yang baik.

“Karenanya, memilih pemimpin yang mampu menjaga agama dan mampu mengurusi urusan kemasyarakat, kebangsaan dan kenegaraan hukumnya wajib. Sebaliknya, golput dalam arti tidak mau berpartisipasi menggunakan hak pilih, kemudian terpilih pemimpin yang lalim dan tidak kompeten, maka tindakan itu haram dan berdosa,” kata mantan Ketua KPAI ini.

Lebih lanjut, Prof Niam juga menjelaskan bahwa MUI telah menetapkan Fatwa tentang Hukum Permintaan dan/atau Pemberian Imbalan atas proses pencalonan pejabat publik dalam forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Kalimantan Selatan pada 2018, yang isi lengkapnya sebagai berikut:

1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.

2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.

3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislative, anggota lembaga negara, kepala  pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan public lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.

4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement