REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Muhammad Ikhwanuddin, Antara
Belakangan ini, capres nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) terlihat memilih gaya kampanye ofensif atau menyerang. Hal itu terlihat dalam beberapa pernyataannya saat pidato, seperti soal tuduhan bahwa Prabowo Subianto menggunakan konsultan politik asing atau dan penggunaan propaganda Rusia.
Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, jika melihat dalam pertarungan Pilpres 2014 lalu, Jokowi tidak menggunakan strategi ofensif. Sehingga, terlihat sangat berbeda dengan Jokowi yang sekarang.
"Justru seperti 'wong deso, aku rapopo pokoke', Jokowi sekarang beda sekali dengan Jokowi tempo dulu. Karena pada waktu itu beliau mungkin belum punya janji," ucapnya saat dihubungi Republika, Rabu (6/2).
Baca Juga:
- Jokowi Jelaskan Istilah 'Propaganda Rusia' tak Merujuk Rusia
- Jokowi: Kampanye Perlu Ofensif, Masa 4 Tahun Diam
- Polemik 'Propaganda Rusia' Dilaporkan ke Bawaslu
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu menyebut, karena sosok Jokowi yang sederhana, tidak reaksioner, dan santai terhadap berbagai fitnah serta tuduhan yang mengarah pada dirinya yang membuat ia akhirnya terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2014. Kini, Pangi menilai, Jokowi terpancing 'lagu perang' yang dimainkan Prabowo.
"Tiba-tiba Jokowi hari ini bukan menjadi dirinya, menyerang lawan politiknya. Saya melihat belakangan Jokowi mulai terbawa arus, terpancing, seperti enggak punya jalan pikiran sendiri. Justru sibuk dan terkesan terjebak dengan permainan isu yang dimainkan sang penantang. Secara sederhana saya katakan bahwa Jokowi ikut genderang perang lagu yang dimainkan Prabowo," paparnya.
Ia menuturkan, Jokowi beserta timnya bisa saja menjawab dan membantah berbagai isu negatif maupun hoaks yang selama ini dituduhkan kepada mantan wali kota Solo tersebut dengan didukung data kuat. Jokowi seharusnya, tidak perlu terpancing untuk menyerang balik.
"Jadi kalau pun menyerang, narasi dan isu yang dilemparkan harus diperhitungkan betul secara matang, dampak positif dan negatifnya. Jangan kemudian main semua isu yang tak relevan untuk kenaikan elektabilitas, mesti cek dulu apakah isu yang bakal dimainkan ke panggung depan publik menguntungkan atau merugikan beliau secara petahana," jelas Pangi.
Ia pun menyarankan agar Jokowi sebaiknya kembali fokus menjelaskan kepada masyarakat apa saja yang menjadi keberhasilan, prestasi dan capaiannya selama ini. "Justru kalau beliau diserang, namun beliau counter (membalas) dengan tenang dan jernih, diperkuat data, serta tak terpancing, sebetulnya beliau bisa diuntungkan," katanya.
Oleh karena itu, Pangi menambahkan, Jokowi dan timnya harus berpikir ulang, mendaur ulang strategi yang mereka mainkan. Menurutnya, belakangan justru banyak blunder yang dibuat tim Jokowi dan secara tidak langsung hal itu mengerek elektabilitas Prabowo.
"Sekarang memang di atas kertas Jokowi unggul. Namun, tren elektabilitas Prabowo ada kenaikan walaupun tidak signifikan. Sementara Pak Jokowi stagnan," tutupnya.
Pangi juga menilai, Jokowi saat ini tengah merasa terancam. Oleh karena itu, dua bulan menjelang pilpres, Jokowi mulai melancarkan 'serangan frontal' terhadap lawan politik
"Jokowi nggak tahan juga mungkin karena hampir empat tahun beliau difitnah, diserang isu black campaign atau negative campaign, tetapi tidak reaktif dan menyerang, justru lebih menahan diri dan bersabar. Barangkali selama empat tahun Jokowi pada akhirnya nggak tahan dengan banyaknya fitnah, hoaks dan black campaign yang dituduhkan ke beliau. Beliau melawan dan membela diri, kira-kira begitulah," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (6/2).
Pangi menyarankan, Jokowi juga harus hati-hati ketika menyerang, jangan sampai justru menjadi blunder. Sebab, menurutnya kampanye ofensif cocok untuk penantang, bukan pejawat.
"Faktanya strategi menyerang (ofensif) Pak Jokowi belakangan justru tak menguntungkan Jokowi secara elektoral," imbuhnya.
Pangi menegaskan, kampanye ofensif atau menyerang yang dilakukan sebaiknya lebih ke isu substantif. Bukan hanya menyerang tuduhan pribadi.
"Jadi kalau pun menyerang, narasi dan isu yang dilemparkan harus diperhitungkan betul secara matang, dampak positif dan negatifnya. Jangan kemudian main semua isu yang tak relevan untuk kenaikan elektabilitas, mesti cek dulu apakah isu yang bakal dimainkan ke panggung depan publik menguntungkan atau merugikan beliau secara pejawat," jelas Pangi.
Tim Kampanye Nasional (TKN) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin menegaskan pihaknya mulai melakukan kampanye ofensif menggunakan data dan fakta. Konteks ofensif oleh pihak Jokowi-Ma'ruf itu terjadi karena sering dilaporkan ke Bawaslu tanpa data akurat oleh tim sukses capres-cawapres nomor urut 02.
"Jadi, saya katakan, sudah selayaknya tim hukum kita ofensif melaporkan dengan fakta dan data," kata Ketua TKN Erick Thohir dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Rabu (6/2).
Menurut Erick, tim hukum capres-cawapres nomor urut 01 dalam tiap laporannya kepada Bawaslu membawa data dan fakta pelanggaran kampanye. Namun, hal itu kerap diisukan negatif oleh rival politik yang disebut sebagai kriminalisasi.
"Mereka tak bisa membedakan kriminalisasi dengan penegakan atas fakta hukum. Ini perlu saya tegaskan supaya fair dulu ya," jelas Erick.
Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf Arsul Sani mengatakan, anggapan bahwa manuver yang dilakukan Jokowi ofensif merupakan hal yang berlebihan. Menurutnya, manuver yang dilakukan Jokowi lebih pantas disebut sebagai aksi responsif.
"Yang pas adalah Jokowi menjawab semua tuduhan, kritik, dan hoaks yang dilemparkan secara lebih luas," kata Arsul kepada Republika.co.id, Rabu (6/2).
Hal yang disampaikan yang belakangan disebut ofensif oleh Jokowi, kata Asrul, memang sudah sepatutnya diutarakan untuk mengadang tuduhan yang selama ini disematkan kepada pejawat. "Itu salah satu cara merespons tuduhan, terutama yang dipelintir, di-framing atau dibuat hoaks. Memang harus dijawab melalui media dan publik," ujar politikus PPP itu.
Soal persepsi masyarakat yang menilai bahwa gaya yang ditampilkan Jokowi termasuk ofensif, Asrul lebih setuju hal itu disebut sebagai bentuk ketegasan. "Yang disampaikan Pak Jokowi itu tegas dan lugas tapi dimaknai ofensif," tuturnya.
[video] JK Menilai Jokowi Layak untuk Memimpin Indonesia