REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menggandeng Bareskrim Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memberantas praktik investasi bodong berkedok koperasi. Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM Suparno di Jakarta, Rabu (6/2) mengungkapkan, banyak laporan dari masyarakat yang menyebutkan penipuan investasi berkedok koperasi.
"Saya pastikan itu bukan koperasi, hanya berkedok atau atas nama koperasi tapi tidak menjalankan prinsip-prinsip perkoperasian yang baik dan benar. Yang disasar adalah masyarakat yang memiliki kebutuhan konsumtif dengan cara yang mudah dan cepat namun tanpa kontrol," katanya.
Dalam pertemuan yang dihadiri unsur BIN dan Bareskrim Mabes Polri, Suparno menyebut beberapa kasus penipuan berkedok koperasi dilakukan melalui fasilitas SMS. Beberapa yang telah teridentifikasi di antaranya mencatut nama KSP Nasari, KSP Utama Karya, dan KSP Anugerah.
"Saya pastikan itu penipuan yang menggunakan nama koperasi. Oleh karena itu, saya mengajak seluruh masyarakat agar tidak terkena penipuan berkedok koperasi tersebut," kata Suparno.
Suparno menegaskan, dengan kondisi yang ada itu, pihaknya butuh langkah pencegahan dan penanganan agar kasus penipuan seperti itu tidak meluas di kalangan masyarakat. "Bayangkan saja, ada KSP dan USP yang jumlahnya mencapai 79.543 unit atau 52,62 persen dari total jumlah koperasi di Indonesia. Suka atau tidak suka, koperasi yang bergerak di sektor simpan pinjam amat rawan untuk disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab," kata Suparno.
Untuk itu, lanjut Suparno, pihaknya akan lebih meningkatkan kinerja dari Satgas Waspada Investasi yang ada di seluruh Indonesia. Saat ini, sudah ada 13 Kementerian/Lembaga yang masuk dalam jajaran Satgas Waspada Investasi, termasuk Bareskrim Mabes Polri.
"Untuk mencegah pencucian uang kami sudah bekerja sama dengan PPATK. Kita sudah mewajibkan koperasi untuk melapor bila menerima dana dalam jumlah besar yang diduga dalam transaksi mencurigakan. Kita juga sudah bekerja sama dengan BNPT (Badan nasional Penanggulangan Teroris) agar koperasi tidak dijadikan sebagai wadah pendanaan terorisme di Indonesia," kata Suparno.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Analisa dan Forensik Siber (Deputi Intelejen Siber) BIN Linardi Utama menjelaskan, pihaknya bertugas mendeteksi awal kejahatan di bidang siber yang memiliki dampak berskala nasional. "Jumlah koperasi di Indonesia sangat banyak dengan jumlah anggota sangat besar. Saya mengimbau pelaku koperasi dan UKM menyadari betapa pentingnya pengamanan data agar tidak disalahgunakan pelaku kejahatan siber," kata Linardi.
Linardi mengingatkan, lokasi pelaku kejahatan siber itu tidak hanya di dalam negeri saja, juga banyak tersebar di luar negeri. "Kita harus waspada karena Indonesia itu urutan keempat dunia untuk masalah kejahatan siber," kata Linardi.
Linardi meyakini bahwa bisnis koperasi di Indonesia akan bertransformasi ke era digital ekonomi. "Ketika kita masuk ke dunia ekonomi digital, kita juga harus sadar akan bahaya kejahatan siber yang mengancam di depan. Kita harus mampu membaca gejala seperti itu, agar kita segera mampu mengatasi dan mengantisipasi," kata Linardi.
Ia menambahkan, ada beberapa modus kejahatan siber yang bisa terjadi di seluruh dunia. Seperti penyebaran virus, spam, trojan, ransom, phising, hingga terkuat adalah hacking. "Yang kerap banyak terjadi di Indonesia adalah modus phising, dimana pelaku kejahatan siber mencuri akun target. Biasanya mereka membuat website perusahaan palsu, biasanya website perbankan, untuk mengelabui si korban," katanya.
Menurut dia, pelaku kejahatan siber biasanya amat terencana, bertahap mengincar calon korban, dan sistematis. "Tidak heran jika mereka sulit dilacak keberadaannya. Oleh karena itu, kita harus menyadari dan tahu akan ancaman tersebut, harus tahu aset yang harus dilindungi, dan paham apa kelemahan kita," katanya.
Sementara itu penyidik senior dari Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri AKBP Dam Wasiadi mengatakan, ketika kejahatan siber terjadi maka yang bisa menjadi korban itu bisa koperasi atau masyarakat umum. "Masyarakat harus waspada ada beberapa penipuan dan kejahatan bermodus siber, seperti lelang online, saham online, online banking, sms banking, pemasaran berjenjang online, kejahatan internet, dan sebagainya," kata Dam.
Ia mengakui, untuk mengungkap kasus kejahatan siber bukan pekerjaan mudah sebab selain selalu menggunakan proxy, pelaku juga memakai hosting di luar negeri. "Bagi Polri ini ibarat main petak umpet. Kita harus memiliki mitra dan jaringan dengan polisi di seluruh dunia. Tapi, walau pun mereka kerap menggunakan nama anonim, kami menangkap pelaku kejahatan siber diantaranya dalam kasus payment card fraud," katanya.