REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Eka Purnama, Ali Yusuf
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah siap menggelar sidang tanwir bertema "Beragama yang Mencerahkan" di Bengkulu pada 15 hingga 17 Februari 2019. Muhammadiyah mengusung tema tersebut karena menilai ada empat fenomena yang sedang terjadi di tengah kehidupan beragama dan berbangsa.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, beragama yang mencerahkan memiliki makna khusus dalam konteks Muhammadiyah sebagai organisasi dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan. Tema tersebut diambil karena ada fenomena yang mungkin sudah menjadi realitas.
Muhammadiyah melihat keberagamaan di Indonesia dalam beberapa aspek cenderung ke arah yang kontraproduktif. "Maksudnya, agama belum mampu hadir sebagai kekuatan yang mencerahkan, kekuatan yang menggerakkan, kekuatan yang mempersatukan," ujar Mu'ti kepada Republika di gedung PP Muhammadiyah, Rabu (13/2).
Ia menerangkan, ada empat fenomena yang sekarang muncul dalam realitas keberagamaan di Indonesia. Pertama, fenomena spiritualisasi keagamaan. Dalam hal ini, agama masih dimaknai dan diamalkan sebatas ritual dan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah formal.
Terkadang, kata dia, spiritualitas agama mengarah pada kebangkitan kembali fatalisme Islam atau domestikasi Islam. Agama dianggap sebuah wilayah yang berkaitan dengan ritual belaka atau tidak bisa dibawa ke ruang publik. Bahkan, menurutnya, ada fenomena lain dari konsekuensi spiritualisme agama, yakni bentuk baru dari mistisisme Islam.
"Di mana agama digunakan untuk mengusir setan, mengusir jin, mencari rezeki, ini bentuk baru dari mistisisme Islam," kata dia.
Mu'ti melanjutkan, fenomena kedua adalah komodifikasi agama. Dalam hal ini, masih ada pandangan bahwa agama menjadi ladang untuk orang-orang tertentu mengembangkan bisnis. Orientasinya pada keuntungan karena dalam beberapa aspek pengamalan agama berkaitan langsung dengan ekonomi, misalnya ibadah kurban, busana Muslim, umrah, dan haji.
"Karena itu dimaknai lebih sebagai peluang bisnis, maka kita lihat ada penipuan atau kriminal berbasis agama, contohnya kasus umrah (travel umrah bermasalah), motivasi mereka menyelenggarakan umrah memang murni bisnis, bukan melayani orang yang mau beribadah," Mu'ti menjelaskan.
Kemudian, yang ketiga, ia menerangkan, ada fenomena politisasi agama. Secara sengaja agama dijadikan sebagai kendaraan untuk kepentingan politik kekuasaan. Agama dipahami dan disalahtafsirkan dalam beberapa hal untuk keuntungan politik.
Menurut mu'ti, dampak lain dari politissasi agama berbentuk terorisme. Orang menjadikan agama sebagai pembenaran melakukan kekerasan dan perlawanan pada rezim atau pemerintahan tertentu.
Mu'ti menyampaikan, menjelang pemilihan presiden pada April 2019, Muhammadiyah melihat ada fenomena atau gejala polarisasi politik yang cukup kuat di kalangan umat Islam. Bahkan, menurut dia, polarisasinya tidak terbatas di kalangan umat Islam.
Polarisasi itu dikaitkan dengan pasangan calon yang dinilai lebih merepresentasikan agama tertentu daripada pasangan calon yang lainnya. Suatu pasangan calon dianggap sebagai representasi dari kelompok nasionalis, sementara pasangan calon lainnya dianggap sebagai representasi kelompok khilafah.
"Padahal, tidak sepenuhnya seperti itu, semua calon ini beragama Islam, beliau-beliau itu tidak merepresentasikan kelompok tertentu walau berasal dari organisasi tertentu," kata Mu'ti.
Dia mengatakan, Muhammadiyah melihat ada polarisasi yang bisa berpotensi menimbulkan ketegangan, bahkan konflik. Jika ketegangan menimbulkan sekat-sekat dalam waktu lama, umat tidak mudah direkonsiliasi.
Atas dasar itulah, kata Mu'ti, Muhammadiyah mengangkat tema "Beragama yang Mencerahkan". Tema itu diusung sebagai upaya mendudukkan kembali peran agama sebagai ajaran, sistem, nilai, dan panduan moral untuk kebaikan manusia dalam kehidupan di dunia serta akhirat.
"Bagaimana agama memberikan panduan kepada manusia, pentingnya meraih kebahagian material dan spiritual. Kita menjadi maju dengan agama dan menjadi bermakna dengan beragama," ujar Mu'ti.