REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Harris Iskandar mengatakan literasi tidak hanya sekedar bebas buta aksara saja. Hal yang lebih penting dari itu adalah upaya bangsa memiliki kemampuan hidup melampaui bangsa lain.
Harris mengatakan, bangsa dengan budaya literasi tinggi akan menunjukkan kemampuan bangsa tersebut mampu memenangkan persaingan global yang semakin hari semakin besar tantangannya.
Dia mencatat, pada 2015 angka buta aksara di Indonesia mencapai 5,9 juta jiwa dari total penduduk sekitar 260 juta jiwa. Namun, pada 2018 angka tersebut menurun menjadi 3,3 juta jiwa yang belum melek aksara. Pemerintah menargetkan hingga 2019 akan menurunkan jumlah buta aksara di beberapa daerah kantong buta aksara.
Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan mengamanatkan adanya penguatan sistem perbukuan yang menghasilkan buku bermutu, murah, dan merata serta menumbuhkembangkan budaya literasi di masyarakat.
Dia menjelaskan penguasaan enam literasi dasar yakni literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan, sangat penting untuk dikuasai generasi muda. Berdasarkan undang-undang tersebut, literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Menurut dia, orang tua bukan hanya wajib mengajarkan anak untuk membaca dan menulis, tetapi juga mendorong anak untuk menjadi gemar membaca. "Keluarga dalam hal ini orang tua mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengenalkan literasi sejak usia dini," katanya.