REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masih terus mengoptimalkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengatasi masalah kekurangan pengawas tempat pemungutan suara (PTPS). Salah satu ide yang Bawaslu miliki, yakni menggunakan guru honorer sebagai pengisi kekurangan PTPS tersebut.
"Tapi kami tetap mengoptimalkan koordinasi dengan stakeholder lainnya. Misalnya seandainya ada guru-guru honorer yang usianya memenuhi, mungkin bisa," ujar Ketua Bawaslu, Abhan, di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (18/3).
Menurut Abhan, tidak ada larangan bagi guru honorer untuk terlibat dalam Pemilu sebagai PTPS selama mereka tidak terlibat di partai politik. Ia mengungkapkan, syarat utama seseorang menjadi PTPS adalah harus nonpartisan dan harus independen serta imparsial.
"Kriteria usia ya sesuai dengan undang-undang (UU), 25 tahun itu. Jadi masih mengacu UU. Kecuali kalau ada Perppu. Tadi kan ada dinamika segala macem (dalam RDP)," terangnya.
Abhan mengungkapkan, kekurangan PTPS di seluruh daerah di Indonesia kira-kira mencapai 55 ribu orang. Ia menjelaskan skenario mengambil PTPS untuk suatu daerah dari daerah lain sudah dilakukan di beberapa daerah yang memungkinkan.
Untuk mengambil PTPS dari daerah yang berbeda tersebut, ada hal yang perlu dipikirkan, yakni soal biaya transportasi. Upah yang didapatkan seseorang menjadi PTPS akan habis untuk transportasi jika daerahnya tidak dekat atau berjauhan. Masalah lainnya, ada daerah yang tidak mau diisi oleh PTPS dari daerah lain.
"Kalau yang memang secara geografis memungkinkan itu sudah kami lakukan. Ada dari daerah lain yang surplus. Tetapi juga ada di daerah tertentu terjadi penolakan," ungkapnya.