REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA) menyesalkan wacana yang dilontarkan oleh Menkopolhukam RI Wiranto terkait penggunaan UU Terorisme untuk tangani hoaks politik. Ia menilai wacana tersebut justru dapat memantik keprihatinan banyak pihak, terutama dari komponen yang cukup paham terkait substansi UU Terorisme dan relasinya dengan persoalan pemilu.
"UU terorisme untuk pemilu, ini nalar keblinger?" tanya Harits seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Kamis (21/3).
UU Terorisme menyebut "terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan."
Karena itu, menurut Harits, pernyataan Wiranto adalah tafsir subyektif terhadap definisi yang termaktub dalam UU Terorisme No 5 Tahun 2018. Berdasarkan UU Terorisme, ia menerangkan, terorisme dapat diartikan sesuatu yang menimbulkan ketakutan di masyarakat.
"Mengacu definisi tersebut, publik bisa menakar wacana Menkopolhukam Wiranto seperti yang terekam oleh banyak media," kata Harits.
Harits menerangkan penyebaran hoaks bukan kejahatan yang perlu dijangkau dengan UU Terorisme. Ia menambahkan penyebaran hoaks yang menyebabkan seseorang kehilangan hak pilih dapat djangkau oleh UU Pemilu.
Jika membutuhkan payung hukum, ia menambahkan, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih relefan dengan persoalan hoaks. "Alur logika Wiranto bisa dianggap keblinger meski terkesan benar. Publik dengan mudah menangkap itu 'nalar otak-atik matuk-otak atik gatuk' sebagai bentuk upaya menampilkan sikap represif yang vulgar karena kepentingan politik kekuasaan," kata dia.
Di sisi lain, ia mengatakan, tafsir Wiranto atas UU Terorisme menunjukkan pentingnya pembentukan Badan Pengawas seperti yang direkomendasikan aturan tersebut. Badan tersebut bisa memberikan fungsi pengawasan sehingga rezim pemerintah tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.
"Jangan sampai hanya karena ingin memenuhi syahwat kekuasaan dan kepentingan politik opuntunir lainya akhirnya membajak substansi UU dan suka-suka memberi penafsiran dan penggunaannya," kata dia.