REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Sebulan setelah serangan pembantaian masjid di Christchurch, Selandia Baru, komunitas Muslim terus berjuang mengajak para jamaah lainnya untuk menghilangkan rasa ketakutan mereka, dan kembali melakukan shalat Jumat.
"Mereka masih sangat ketakutan. Biasanya kita harapkan sekitar 100, tapi sekarang sekitar 30," kata Imam masjid Linwood, Ibrahim Abdelhalim, dilansir dari laman Channel News Asia, Jumat (12/4).
Abdelhalim mengatakan, para jamaah banyak yang ingin kembali ke masjid. Namun mereka masih merasakan sebuah kilas balik dari kejadian sebelumnya, dan itu menurut Abdelhalim tidak baik.
Seorang penganut supremasi kulit putih yang berasal dari Australia, telah didakwa dengan 50 tuduhan pembunuhan, dan 39 percobaan pembunuhan. Teroris tersebut didakwa setelah melepaskan tembakan ke dua masjid Chirstchurch, Linwood dan Al Noor pada 15 Maret lalu.
Komunitas Muslim di sana semakin terguncang pada pekan ini,atas tindakan dari seorang pria berusia 33 tahun. Ia mengenakan t-shirt bertuliskan nama Presiden Amerikan Serikat (AS), Donald Trump, meneriakkan penganiayaan terhadap jamaah di masjid Al Noor.
Setelah penembakan, Selandia Baru segera menerapkan undang-undang yang lebih memperketat peraturan senjata api. Termasuk mengeluarkan senjata semi-otomatis dari peredaran melalui skema pembelian kembali, larangan, dan hukuman penjara yang keras.
Pada Jumat, pemerintah memperluas undang-undang yang mencakup ekspor senjata semi-otomatis, tempat penyimpanan peluru, dan bagian-bagian lainnya.
"Perubahan ini penting untuk memastikan bahwa senjata yang dilarang di Selandia Baru tidak diekspor ke negara lain di mana mereka akan menimbulkan risiko yang sama," kata wakil Perdana Menteri, Winston Peters.