REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON— Kongres Amerika Serikat memperkenalan rancangan undang–undang (RUU) untuk memberikan sanksi–sanksi atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Myanmar. Langkah tersebut diambil Kongres AS mengingat lambannya Presiden Donald Trump menyikapi krisis HAM tersebut.
Dilaporkan ABC News, isi dari RUU tersebut di antaranya, menekan pemerintah Myanmar untuk segera menghentikan genosida etnis Rohingya, membebaskan tahanan politik termasuk dua jurnalis Reuters yang ditahan sejak 2017.
elain itu, RUU tersebut menyebutkan Kongres AS akan mengalokasi dana kepada Departemen Luar Negeri untuk mendukung organisasi yang sama–sama memperjuangkan kebebasan para tahanan politik Myanmar.
RUU ini dikeluarkan setelah Presiden Myanmar membebebaskan 9.551 tahanan pada Rabu(17/4), sedangkan untuk tahanan politik sendiri hanya dua orang dibebaskan. Asisten Asosiasi Tahanan Politik, suatu lembaga nirlaba untuk kelompok Hak Asasi Manusia (AAPP), Aunf Myo Kyaw, menyebutkan tindakan pemerintah Myanmar sangat mengecewakan.
Kongres di AS telah lama kecewa dengan tanggapan Presiden Donald Trump terhadap situasi hak asasi manusia di Myanmar. Militer Myanmar memulai aksi secara sistematis untuk membasmi Rohingya, sebuah kelompok etnis mayoritas Muslim di barat laut negara itu, pada Agustus 2017. Trump tidak pernah berbicara secara terbuka tentang kekerasan tersebut.
"Kami ingin berusaha keras untuk memastikan bahwa Amerika Serikat melakukan segala yang mereka bisa untuk menghilangkan krisis hak asasi manusia di Myanmar, baik dalam hal Rohingya maupun secara lua di seluruh masyarakat seperti yang disarankan oleh RUU kami," kata Perwakilan Rakyat AS, Andy Levin.
Sementara para pejabat senior seperti Wakil Presiden AS, Mike Pence dan mantan Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley mengecam kekerasan itu sebagai ‘pembersihan etnis’. Pemerintahan Trump dikritik karena lamban dalam memberikan sanksi kepada pejabat dan unit militer Myanmar dan menolak untuk menekan pemerintah tentang pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Mereka juga berhenti menyebut kampanye melawan Rohingya sebagai "genosida," meskipun banyak organisasi lain, termasuk PBB dan Museum Peringatan Holocaust AS, menggunakan istilah itu.
Myanmar yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, diperintah selama beberapa dekade oleh junta militer yang brutal, pemerintah Myanmar sempat melakukan perubahan kerah yang lebih baik terkait pelanggaran HAM yang dilakukan.
Hal itu membuat pemerintahan Obama melonggarkan sanksi terhadap Myanmar. Namun,kali ini kelompok-kelompok hak asasi manusia semakin khawatir, kebebasan berekspresi akan menjadi kenangan.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, saat ini ada lebih dari 350 tahanan politik di Myanmar, termasuk didalamnya wartawan, pencinta lingkungan, dan pengunjuk rasa serta tahanan–tahanan yang menyita perhatian dunia internasional.
Di antaranya, Aung Ko Htwe, yang telah ditahan sejak 2017 karena berbicara tentang pengalamannya sebagai seorang prajurit anak-anak dan wartawan Reuters Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, yang ditangkap pada Desember 2017 setelah cerita mereka tentang kuburan massal korban Rohingya dipublikasikan.
"Kami telah berulang kali menyerukan pembebasan segera Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, dan Kedutaan Besar kami di Rangoon terus terlibat secara publik dan pribadi untuk membebaskan mereka,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
Departemen Luar Negeri telah menyediakan sejumlah dana untuk kelompok-kelompok bantuan yang mengadvokasi para tahanan politik. Levin mengatakan RUU ini akan mengisi kekosongan bantuan yang diberikan AS untuk menangani masalah ini.
Para advokat mengatakan, pendanaan juga diperlukan karena cara pemerintah mengadaptasi undang-undang era kolonial untuk semakin melecehkan aktivis hak asasi manusia dan lawan politik.
Senator Rob Wagner mengatakan, RUU DPR dan RUU Senat yang diperkenalkan minggu lalu dapat digabungkan."Kita akan mendorong semua jalan untuk membantu menjadikan RUU ini menjadi UU,”ujarnya.