REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, menilai, perlambatan penerimaan pajak pada kuartal pertama tahun ini tidak perlu terlalu dikaitkan dengan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemerintah harus melakukan evaluasi dari sisi lain, termasuk efektivitas imbauan pajak kepada wajib pajak (WP).
Darussalam mengatakan, restitusi merupakan konsekuensi logis dari penerapan konsep netralitas dari sistem PPN. Di dalamnya, terdapat kemungkinan dalam suatu masa pajak, pajak masukan ternyata lebih besar dari pajak keluaran.
Kelebihan pajak masukan ini adalah hak dari Pengusaha Kena Pajak yang wajib dikembalikan oleh negara. "Dengan demikian, restitusi merupakan hak dari wajib pajak," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (24/4).
Oleh karena itu, Darussalam mengatakan, idealnya, restitusi harus diberikan atau dikembalikan segera begitu pembayaran pajak telah diterima otoritas. Menunda proses pemberian restitusi sama saja mencederai prinsip PPN sebagai pajak atas konsumsi.
Tidak mengherankan apabila banyak negara yang memiliki kebijakan bahwa pembayaran klaim restitusi diberikan secepatnya setelah pengajuan.
Di Indonesia, kemudahan percepatan ini baru mulai dilakukan. Jadi, Darussalam menilai, dapat dipahami apabila hal ini kemudian 'dianggap' sebagai sumber permasalahan.
Terakhir, Danny menambahkan, justru percepatan dan kemudahan restitusi justru berdampak positif. Khususnya, akan mengurangi distorsi atas cash flow dari wajib pajak. Di saat yang bersamaan juga akan membuat sumber daya manusia di otoritas pajak tidak terserap dalam proses pemeriksaan restitusi sehingga bisa fokus untuk melakukan upaya meningkatkan kepatuhan.
Dengan demikian, Darussalam menyimpulkan, percepatan restitusi justru akan baik bagi kepatuhan. "Karena akan memberikan kepastian bagi wajib pajak dan penggunaan SDM yang lebih efisien dari sisi otoritas pajak," tuturnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan menyebutkan, restitusi menyebabkan kinerja penerimaan pajak mengalami tekanan. Dari data yang dipaparkan, penerimaan pajak sampai Maret 2019 mencapai Rp 248,98 triliun, atau hanya tumbuh 1,82 persen secara tahunan (year on year/yoy). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang hampir 10 persen.
Di sisi lain, Robert menambahkan, perlambatan aktivitas perdagangan juga ikut menggerus penerimaan pajak. Tapi, ia memastikan, pihaknya akan terus melakukan upaya untuk mencapai target penerimaan negara. "Siapa tahu, ke depan, ada perbaikan di sektor perdagangan," ujarnya.