REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses belajar-mengajar seringkali bertumpu pada kemampuan seorang guru dalam menyampaikan informasi dan ilmu pengetahuan. Para murid atau publik umumnya tidak jarang meleset dari pemahaman yang semestinya. Hal itu lantaran adanya kesenjangan komunikasi (miscommunication) antara kedua belah pihak.
Dalam konteks ini, Rasulullah Muhammad SAW merupakan suri teladan yang terbaik. Beliau shalallahu 'alaihi wasallam memberikan sekurang-kurangnya tiga metode. Seluruhnya dapat menjadi model bagi guru atau insan pengajar dalam proses transmisi keilmuan.
Kesabaran
Untuk memahaminya, lihatlah bagaimana kitab suci Alquran diturunkan oleh Allah Ta'ala kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Kitabullah itu sampai secara berangsur-angsur, tidak seketika utuh.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW pun mengajarkan Alquran dan menerapkannya seiring dengan tahapan-tahapan turunnya teks yang teramat mulia itu. Proses pengajaran ini memerlukan waktu yang panjang dan daya juang yang tinggi.
Hikmahnya, seseorang hendaknya bersabar dalam memberikan materi-materi keilmuan kepada sasaran didiknya. Semua butuh proses. Tidak mungkin seketika, karena bila hal yang buru-buru diterapkan, justru memperbesar peluang miskomunikasi.
Akrab
Meskipun berkedudukan amat mulia di tengah umat manusia, Rasulullah SAW menyukai kerendahan hati. Sebab, itulah kunci dalam menjalin komunikasi dan relasi sosial yang baik dengan siapapun.
Dengan demikian, pengajaran ilmu pengetahuan akan lebih diterima dengan simpati dan mendapatkan khalayak yang semakin luas. Tidak mungkin, umpamanya, seorang ulama hidup dalam keadaan eksklusif. Adanya kerahiban sendiri dikecam dalam ajaran Islam.
Tak Monoton
Adalah wajar bagi seseorang untuk bosan dalam menghadapi rutinitas. Oleh karena itu, Rasulullah SAW membuat pengajarannya secara variatif.
Selain untuk mengelak dari kebosanan, cara ini juga berfungsi membuat para pendengarnya lebih terkesan. Simak misalnya hadis riwayat Ibnu Mas’ud berikut: “Nabi SAW memilih hari-hari tertentu untuk menyampaikan mauidzah kepada kami karena beliau khawatir kami merasa bosan.”
Segenap prinsip pengajaran itu dapat bermuara pada fungsi akhlak di tengah manusia. Betapa pentingnya persoalan akhlak ini di atas ilmu.
Sekalipun, umpamanya, yang disampaikan seseorang itu hanyalah ilmu sains murni tetapi cara pengajarannya dengan akhlak, maka itu lebih bernilai islami karena sesuai dengan keteladanan Rasulullah SAW. Apatah dengan pengajaran ilmu-ilmu agama.
Oleh karena itu, cakrawala keilmuan seorang ulama hendaknya berbanding lurus dengan keluhuran budi pekerti yang bersangkutan di tengah masyarakat. Bila tidak demikian, ulama tersebut dapat dikatakan belum utuh mengikuti akhlak Rasulullah SAW.