REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK memastikan bahwa mantan dirut PLN Sofyan Basir saat ini sudah ada di Indonesia. Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Sofyan sempat berada di Singapura pada Kamis (25/4).
"Yang bersangkutan kemarin memang ada di Singapura tapi tanggal 25 (April) sudah ada di Indonesia. Kalau ada berita (Sofyan Basir) di Prancis kita tidak pernah mengatakan itu, kita tahu yang bersangkutan pergi ke Singapura, jadwal pulangnya kita lihat dan benar yang bersangkutan sesuai tanggal pulang tanggal 25 (April)," ungkap Basaria Jumat (26/4).
KPK juga sudah mengirimkan surat permohonan cegah untuk Sofyan sejak 25 April 2019 hingga enam bulan ke depan. Pencegahan agar penyidik tak ada hambatan untuk memeriksa Sofyan.
"Pencegahan kan baru kita lakukan, pencegahan itu bukan masalah dia sering keluar negeri atau tidak tapi kita menginginkan agar tidak ada hambatan pada saat penyidik membutuhkan keterangan," ungkap Basaria.
KPK meyakini bahwa mantan direktur utama (dirut) PLN Sofyan Basir ikut menerima dalam proses kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. Apalagi di undang-undang disebutkan, seorang pejabat negara yang memberi janji saja sudah tidak dibenarkan.
"Yang namanya turut membantu tidak selalu harus ikut menerima (suap) dalam undang-undang (UU). Dalam UU, diberikan janji saja sudah cukup, apakah misalnya diterima, kalau tertangkap tangan memang sudah benar (diterima) tapi di sekeliling saya ada orang-orang yang membantu ikut juga (terlibat) karena yang bersangkutan ada pasal 55 dan 56," kata Basaria.
KPK pada Selasa (23/4) menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Sofyan diduga membantu bekas anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan pemilik saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo mendapatkan kontrak kerja sama proyek senilai 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.
Sofyan hadir dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh Eni Maulani Saragih, Johannes Kotjo dan pihak lainnya untuk memasukkan proyek "Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) PT PLN.
Pada 2016, meskipun belum terbit Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK), Sofyan diduga telah menunjuk Johannes Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1. Ini karena untuk PLTU di Jawa sudah penuh dan sudah ada kandidat.
Sehingga PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2x300 MW masuk dalam RUPTL PLN. Setelah itu, diduga Sofyan Basir menyuruh salah satu Direktur PT PLN agar "Power Purchase Agreement" (PPA) antara PLN dengan Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co (CHEC) segera direalisasikan.
Terkait perkara ini, sudah ada 3 orang yang dijatuhi hukuman yaitu mantan Menteri Sosial yang juga mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan.
Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu juga telah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
Sedangkan Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sedangkan PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) Samin Tan juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga memberikan suap kepada Eni Maulani Saragih sejumlah Rp5 miliar.