Rabu 06 Nov 2019 15:24 WIB

KPK: Hakim Abaikan Fakta dan Bukti dalam Vonis Bebas Sofyan

KPK akan mengajukan kasasi atas putusan bebas murni Sofyan Basir.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir meninggalkan Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas 1 Jakarta Timur Cabang KPK, Jakarta, Senin (4/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir meninggalkan Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas 1 Jakarta Timur Cabang KPK, Jakarta, Senin (4/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta mengabaikan sejumlah fakta dan bukti persidangan dalam mengambil putusan bebas murni terhadap Sofyan Basir, Senin (4/11).

KPK mengatakan, mantan direktur umum PT PLN tersebut, mengetahui terjadinya praktik suap dalam proyek Independent Power Producer (IPP) di PLTU Mulut Tambang Riau-1 2015 yang melibatkan pengusaha dan sejumlah politikus dari partai Golkar.

Baca Juga

KPK juga menilai Majelis Hakim luput dari pembuktian tentang Sofyan Basir yang melakukan percepatan proses kesepakatan proyek IPP PLTU tersebut.

Juru Bicara KPK Febri Dianysah menerangkan, menengok pangkal masalah, Sofyan Basir mulanya didakwa sebagai orang yang membantu atau memfasilitasi tindak pidana suap yang dilakukan oleh pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo, dan anggota Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, serta Sekjen Partai Golkar Idrus Marham.

Tiga pelaku suap tersebut, masing-masing juga ditangani KPK dengan tuduhan mempercepat proses kesepakatan proyek IPP PLTU. Johanes, Eni, dan Idrus, sudah mendapatkan vonis masing-masing empat, empat setengah, dan enam tahun penjara.

Majelis Hakim menyatakan ketiganya bersalah sebagai pemberi suap, dan penerima suap sebesar masing-masing Rp 4,75 miliar.

Terkait Sofyan Basir, Febri mengatakan, perannya penting dalam 'kongkalikong' antara tiga terpidana tersebut, saat melakukan tindak pidana suap. Karena itu Febri menjelaskan, KPK mendakwa Sofyan Basir dengan sangkaan perbantuan, dan mengatur tindak pidana kejahatan suap, seperti diatur dalam Pasal 12 huruf a, atau Pasal 15 dan, Pasal 11 Undang-Undang 20/2001 atas perubahan 31/1999  tentang Tipikor, juncto Pasal 56 ke-2 KUH Pidana.

“Dari bukti-bukti yang ada, KPK memandang peran Sofyan Basir sangat penting dalam tindak pidana korupsi suap ini,” ujar Febri seperti dalam rilis resminya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (6/11).

Ia memandang, peran penting Sofyan Basir dalam pidana suap tersebut yang diabaikan oleh Majelis Hakim saat mengambil keputusan. Febri menjelaskan, paling tidak ada dua contoh pengabaian fakta dan bukti yang Majelis Hakim lakukan.

Pertama, soal kesaksian dari Johanes sebagai pemberi suap kepada Eni, yang menyatakan dalam persidangan mengakui, tanpa bantuan bantuan Sofyan Basir, percepatan kesepakatan proyek IPP PLTU Riau-1 tak akan terjadi.

“Sebagaimana sudah diproses saat persidangan, pokok perkara kasus ini adalah untuk mempercepat kesepakatan proyek IPP PLTU Riau-1,” kata Febri.

Percepatan kesepakatan tersebut, terjadi antara PT PJBI dengan BNR ltd, dan CHEH ltd yang dibawa Johanes. Johanes, dalam kesaksiannya juga menyampaikan kepada Majelis Hakim, tak akan melakukan suap kepada Eni, maupun Idrus, jika tanpa melalui peran Sofyan Basir.

Menurut KPK, Sofyan Basir sebagai Dirut PLN yang mempertemukan Eni dan Johanes, kepada Direktur Pengadaan Strategis-2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso, sebagai penanggung jawab proyek IPP PLTU Riau-1.

Dalam persidangan Eni, menurut KPK, Sofyan Basir pun sebagai saksi mengakui, mengetahui adanya praktik suap yang dilakukan Johanes. “Ini pernah disampaikan Sofyan Basir dalam sidang Eni, yang menyatakan dirinya diberitahu Eni, bahwa Eni mengawal perusahaan yang dibawa Johanes,” terang Febri.

Pengawalan oleh Eni tersebut, terungkap untuk mendapatkan pendanaan Munas Partai Golkar. Namun, kata Febri pengakuan Sofyan Basir dalam persidangan untuk Eni tersebut dicabut dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Akan tetapi, Sofyan Basir sendiri yang dalam persidangan untuknya, mengakui pencabutan BAP tersebut, dilakukan tanpa ada tekanan dari penyidik.

Lazimnya pencabutan BAP, hanya dapat dilakukan oleh terdakwa, jika terjadi intimidasi atau tekanan dari penyidik saat pemeriksaan. Karena itu, KPK, kata Febri meyakini, pengakuan saksi-saksi, dan sejumlah fakta, juga bukti  persidangan terkait Sofyan Basir, semestinya tak membuat Majelis Hakim memberikan vonis bebas murni dari semua dakwaan dan tuntutan.

Dengan putusan bebas tersebut, Sofyan Basir selamat sementara dari ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta seperti dalam tuntutan KPK.

Namun Febri mengatakan, KPK tetap menghormati apapun yang sudah menjadi keputusan PN Tipikor dalam kasus perbantuan korupsi oleh Sofyan Basir itu. “Meskipun KPK kecewa dan memiliki pendapat yang berbeda dengan putusan tersebut,” ujar Febri.

Karena itu, KPK memastikan akan mengajukan kasasi terkait putusan bebas murni itu ke Mahkamah Agung (MA). “Poin-poin tadi yang akan kami matangkan dalam memori kasasi yang saat ini sudah disiapkan oleh tim JPU (Jaksa Penuntut Umum),” sambung Febri. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement