REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah serius merealisasikan wacana pemindahan ibukota. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan saat ini rencana pemindahan ibukota masih dalam tahap evaluasi.
Menurut Darmin, pemerintah belum memutuskan daerah mana yang akan dijadikan lokasi ibukota baru. "Kan belum diputuskan di mananya, tunggu aja dulu," kata Darmin saat ditemui di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (2/5).
Keinginan untuk memindahkan ibukota ini sejatinya bukan pertama kali muncul di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Wacana ini sudah pernah muncul di era pemerintahan sebelumnya mulai dari Soekarno, Soeharto, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Wacana pemindahan ibu kota ini pun banyak menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai pemindahan ibu kota ini akan menimbulkan sejumlah dampak.
Menurutnya, pemindahan ibu kota ini akan menghabiskan anggaran yang sangat besar. Berdasarkan perhitungan dari Bappenas, total biaya pembangunan ibu kota baru ini akan memakan anggaran Rp 466 triliun. Bhima memperkirakan akan terjadi pembengkakan biaya akibat spekulasi tanah.
"Biaya pembebasan lahan mahal karena ulah spekulan tanah. Biaya lain misalnya force majeure karena krisis harus dimasukkan," kata Bhima.
Bhima mencontohkan yang terjadi pada pembangunan pusat pemerintahan Putrajaya di Malaysia. Saat pembangunan Putrajaya, sempat terjadi pembengkakan dana karena krisis finansial 1998. Konsekuensi dari mahalnya biaya itu akan menambah defisit APBN dan utang pemrintah, sehingga tidak feasible secara ekonomi.
Selain itu, menurut Bhima, pemindahan ibukota ini tidak bisa menyelesaikan masalah kemacetan. Pasalnya, jumlah kendaraan dinas yang berkurang tidak signifikan dibanding kendaraan pribadi dari swasta dan rumah tangga. Total kendaraan pribadi di Jakarta sekitar 17 juta unit sedangkan kendaraan dinas hanya 140 ribu unit.
"Apakah berpindahnya para pns kementerian keluar jakarta signifikan kurangi kemacetan? Jawabannya tidak sama sekali," tutur Bhima.
Bhima menegaskan, pemindahan ibu kota justru menimbulkan inflasi karena arus urbanisasi ke tempat baru menaikan harga kebtuhan pokok. Ketimpangan di ibu kota baru akan semakin melebar imbas dari pendatang yang lebih mampu secara ekonomi dibandingkan dengan penduduk lokal yang miskin.