REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Kamran Dikarma, Lintar Satria
Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) pada 2016 berdampak terhadap meningkatnya pembangunan permukiman ilegal Israel, terutama di Tepi Barat. Hal itu tecermin dari anggaran proyek yang digelontorkan Israel.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Keuangan Israel, pada 2017, yakni tahun pertama Trump memerintah, Pemerintah Israel menggelontorkan dana sebesar 1,65 miliar shekel atau sekitar Rp 4 triliun. Dana itu untuk pembangunan infrastruktur di Tepi Barat, mencakup jalan, sekolah, dan bangunan publik.
Dana pembangunan itu melonjak sekitar 39 persen. Sebab, pada 2016, Israel hanya mengucurkan dana sebesar 1,19 miliar shekel untuk pembangunan infrastruktur di Tepi Barat.
Jika melihat data Kementerian Keuangan Israel, dana pembangunan di Tepi Barat pada 2017 adalah yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Peneliti dari kelompok pemantau antipermukiman, Peace Now, Hagit Ofran, mengatakan terpilihnya Trump sebagai presiden AS tampaknya telah memperkuat pemerintah pro pemukim Israel.
"Mereka tidak malu lagi dengan apa yang mereka lakukan. Mereka merasa lebih bebas untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan," kata Ofran.
Menurut dia, pembangunan jalan di Tepi Barat adalah salah satu yang patut disorot. Selain kerap membelah desa-desa Palestina, pembangunan jalan menjadi titik tolak untuk proyek-proyek selanjutnya. Ofran menilai, pembangunan jalan memungkinkan Israel memperluas proyek permukimannya di Tepi Barat. "Itu sangat mengkhawatirkan,"ujar nya.
Menteri Transportasi Israel, Israel Katz, dan Menteri Pendidikan Israel Naftali Bennett menolak mengomentari hal tersebut. Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga enggan memberikan tanggapan.
Sementara itu, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rudeineh, mengkritik tajam dukungan AS terhadap proyek-proyek infrastruktur Israel di Tepi Barat. "Ini membuktikan bahwa pemerintahan AS saat ini mendorong kegiatan permukiman," kata dia.
Rudeineh menyatakan, hal itu menjadi alasan utama Palestina meragukan rencana perdamaian AS untuk Timur Tengah, termasuk konflik Israel-Palestina, atau dikenal dengan istilah Deal of the Century.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki mengatakan kepada PBB bahwa ada lebih dari 600 ribu pemukim Israel yang saat ini tinggal di Tepi Barat. Namun, al-Maliki menegaskan, Palestina masih berkomitmen terhadap solusi dua negara.
"Terlepas dari ketidakadilan yang sedang berlangsung ini, kami tetap berkomitmen untuk perdamaian dan aturan hukum internasional. Mengapa?Karena, itu satu-satunya jalan ke depan," ucapnya dikutip laman Anadolu Agency.
Sejak Trump terpilih sebagai presiden, AS telah mengambil beberapa kebijakan kontroversial, satu di antaranya adalah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017. Trump juga memerintahkan agar kontribusi AS bagi Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dihentikan. Hal itu menyebabkan UNRWA mengalami krisis pendanaan karena Washington merupakan penyandang dana terbesar di organisasi itu.
Pada Maret lalu, Trump secara resmi mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan yang dicaplok Israel dari Suriah pada 1967. Keputusan ini disambut Netanyahu yang kemudian berjanji akan membangun kota di Golan dengan nama Kota Trump.
Peringati Nakba
Sementara itu, Amnesty International (AI) memperingati 71 tahun eksodus rakyat Palestina pada 1948 yang dikenal sebagai Nakba. AI mendorong dunia untuk menunjukkan solidaritasnya kepada pengungsi Palestina. AI membuat situs khusus Nakba yang menunjukkan gambar-gambar dan pengakuan rakyat Palestina selama hidup dalam penjajahan Israel.
"Lebih dari 70 tahun setelah konflik yang diikuti pembentukan Israel, pengungsi Palestina yang dipaksa untuk pindah dari rumah mereka dan hasilnya kehilangan tanah mereka terus menghadapi konsekuensi yang menghancurkan," kata Direktur AI untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Philip Luther, dikutip dari situs resmi AI, Rabu (15/5).
Nakba atau malapetaka menandai eksodus besar-besaran akibat pengusiran Israel. Mereka meninggalkan tanah air mereka kemudian mengungsi ke negara-negara sekitarnya hingga kini. (ed: yeyen rostiyani)