REPUBLIKA.CO.ID, VIENNA -- Sejumlah organisasi non-pemerintah, jurnalis, politisi dan aktivis di Austria menentang rencana pelarangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah dasar. Seorang anggota independen parlemen Austria, Martha Bissman mengatakan aturan tersebut akan memunculkan persepsi bahwa Muslim itu berbahaya.
"Ini tak hanya akan memperburuk Islamophobia, tapi juga bakal mengampanyekan gagasan bahwa Muslim adalah bahaya bagi masyarakat," kata Bissman dilansir dari Anadolu Agency, Jumat (17/5).
Pemerintah sayap kanan Austria, yang dipimpin oleh Kanselir Sebastian Kurz, pemimpin termuda di Eropa, memperkenalkan rancangan undang-undang yang melarang jilbab pada akhir tahun lalu di parlemen. Pemerintah berencana mengimplementasikan aturan itu tanpa dukungan oposisi.
Rancangan undang-undang tersebut melarang jilbab untuk anak perempuan di bawah usia 10 tahun di semua sekolah dasar, termasuk sekolah swasta di seluruh negeri. Menurut Bissman, aturan itu melanggar prinsip-prinsip dasar Perjanjian Negara Austria tahun 1955 dan konstitusi.
"Konstitusi meliputi pelaksanaan ibadah keagamaan, penggunaan pakaian, simbol agama, dan kebebasan beragama," ujarnya.
Bissman juga menyampaikan, hampir semua perwakilan Muslim menentang paksaan perempuan untuk mengenakan jilbab. "Melarang jilbab sebagai kampanye politik tidak lebih dari histeria politik bagi minoritas," katanya.
Undang-undang itu dianggap hanya ditujukan untuk anak-anak Muslim. Larangan itu bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan kebebasan beragam. Larangan itu tidak konstitusional karena salib Kristen saat ini ada di setiap sekolah di negara itu dan bahwa anak-anak Yahudi boleh memakai kippa, penutup kepala agama.
Otoritas Agama Islam Austria (IGGIO) mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa larangan jilbab bertentangan dengan kebebasan beragama. "Kami ingin undang-undang ini diperiksa secara konstitusional," ungkapnya.
Austria adalah rumah bagi sekitar 700 ribu Muslim, termasuk 300 ribu warga Turki. Banyak dari mereka adalah warga negara Austria generasi kedua atau ketiga dari keluarga Turki yang bermigrasi ke negara itu pada 1960-an.
Di tengah kekhawatiran yang meluas dari krisis pengungsi dan terorisme internasional, partai-partai sayap kanan Austria mengusulkan beberapa langkah kontroversial termasuk kontrol ketat terhadap masjid dan asosiasi Muslim dan segera menutupnya jika ada aktivitas mencurigakan. Pada Oktober 2017, Austria melarang warganya menutup wajah untuk mencegah orang menyembunyikan wajah mereka di semua tempat umum, termasuk fasilitas transportasi.