REPUBLIKA.CO.ID, Orang yang mempraktikkan ajaran tasawuf atau seorang sufi kerap dipandang selalu menjauhkan diri dari kehidupan dunia, dan hanya fokus untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal, seorang sufi juga banyak yang dapat menyimbangkan antara spiritual dan kehidupan sosial.
Dalam buku yang berjudul “Tasawuf Sosial KH MA Sahal Mahfudh”, tasawuf tidak harus identik dengan aktivitas uzlah, atau menjauhkan diri dari hubungan sosial.
Buku ini mengkaji tasawuf KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz yang menjadi laku kesehariannya. Praktik tasawuf Kiai Sahal itu disaksikan oleh keluarga, santri, orang dekat, dan masyarakat secara umum yang bisa menjadi teladan bagi umat Islam.
Termiminologi tasawuf sosial digunakan setelah menelaaah pemikiran dan kehidupan sehari-hari Kiai Sahal dalam bidang tasawuf. Tasawuf sosial adalah ajaran yang bertujuan untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya kepada masyarakat luas.
Tasawuf Kiai Sahal yang juga Rais Aam Nahdlatul Ulama itu menekankan nilai kemanfaatan untuk sesama, mendorong, manusia untuk menyeimbangkan prestasi dunia dan akhirat, dan menghindari fatalisme absolut yang membahayakan masa depan dunia dan akhirat seseorang.
Tasawuf yang diusung dan diperjuangkan Kiai Sahal adalah taswuf sosial dalam rangka menghadirkan solusi problematika sosial yang bidang ekonomi.
Penulis buku ini, Jamal Ma’mur Asmani, menjelaskan bahwa ciri tasawuf sosial setidaknya ada tiga. Pertama, doktrin-doktrin tasawuf yang membangun kehidupan dunia, bukan membenci kehidupan dunia. Kedua, reinterpretasi doktrin yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan material dan spiritual.
Sedangkan ciri tasawuf yang ketiga adalah membumikan ajaran tasawuf dalam realitas sehari-hari, baik untuk pribadi maupun umat secara keseluruhan. “Tiga ciri tasawuf tersebut dilakukan secara seluruh oleh Kiai Sahal,” tulis Jamal Ma’mur.
Buku ini terdiri dari delapan bab untuk menghadirkan potret utuh pemikiran tasawuf sosial dan laku hidup Kiai Sahal sebagai teladan dan rujukan seluruh elemen bangsa ini dalam semua aspek kehidupan. Tasawuf sosial Kiai Sahal dijelaskan secara detail dalam bab kelima sampai bab kedelapan.
Tasawuf Kiai Sahal banyak dipengaruhi oleh banyak kiai dan juga ulama sufi. Di antaranya adalah KH Muhajir Bendo yang dikenal sebagai sosok kiai sufi yang sangat tawadhu. Selain itu, Kitab Ihya Ulumiddin karya Imam al-Ghazali juga mempengaruhi Kiai Sahal dalam mendalami tasawuf.
Menurut Kiai Sahal, setidaknya ada dua ajaran utama dalam tasawuf, yaitu ma’rifatullah (mengenal Allah) dengan yakin dan liqaullah (bertemu Allah) ketika mencapai titik final perjalanannya. Untuk menggapai itu, maka seseorang yang mendalami tasawuf harus melalui empat tahapan, yaitu mulai dari syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat.
Dalam buku ini, tasawuf sosial ini dirumuskan dari percik-percik pemikiran Kiai Sahal yang disampaikan di banyak kesempatan, seperti halnya pembahasan tentang kesalehan. Menurut Kiai Sahal, manusia yang saleh adalah yang mampu berperan aktif, bermanfaat, dan terampil dalam kehidupan sosial.
Dalam buku lain, Kiai Sahal juga menjelaskan bahwa saleh adalah kemampuan memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan kepada orang orang lain dalam masalah dunia. Untuk memberikan manfaat itu, Kiai Sahal pun pernah menerima amanah sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada periode 2000-2005.
Tasawuf Sosial Kiai Sahal bisa dilihat dari tindakan-tindakan riil di lapangan yang membawa perubahan konkret di tengah masyarakat. Karena itu, Kiai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU.