REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para alim ulama, ustaz dan ustazah, serta mubaligh dan mubalighah dari Jakarta dan sekitarnya menghadiri Halaqah Ulama Jakarta, Ahad (26/5). Acara ini dihadiri oleh MUI Jakarta Timur, bersama Ikatan Pesantren Indonesia (IPI), Masyarakat Cinta Masjid Indonesia (MCM), dan Muballigh Indonesia Bertauhid (MIB).
Di sesi pertama, dengan materi membangun ekonomi dari pesantren, narasumbernya adalah KH Abdul Fatah, PhD, sekjen DPP Ikatan Pesantren Indonesia (IPI). Dia menyampaikan pentingnya alim ulama memiliki kekuatan ekonomi, kemampuan finansial, dengan mengikuti perkembangan bisnis terkini yang berbasis online.
Sedangkan, di sesi kedua, yaitu materi tentang jejak genealogi ulama nusantara, KH Rizal Mumazziq, rektor Institut Agama Islam Al-Falah Assuniyah, Jember, menyampaikan bahwa ulama di Betawi memiliki hubungan yang kuat dengan ulama Jawa sejak lama dalam ikatan persahabatan sejak sama-sama belajar di Makkah.
Sebagai contoh, KH Abdul Wahid Hasyim, anak Hadratussyaikh KH Hasyim Asy`ari dan menteri agama RI, ketika dalam pelarian karena dicari oleh tentara Belanda dan sekutunya, dia bersembunyi di rumah-rumah ulama Betawi, yaitu di rumah KH Baqir bin Marzuqi bin Mirshod, KH Abdurrazak Ma`mun, Guru Na`im Cipete, dan KH Hasbiyallah, Klender.
Setelah itu, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, anak dari KH Abdul Wahid Hasyim, saat pertama kali mukim di Jakarta pada tahun 1975, tetap menyambungkan tali silaturahim persahabatan ayahnya dengan para ulama Betawi tersebut walau ayahnya telah wafat, yaitu kepada dua ulama Betawi yang masih hidup: KH Abdurrazak Ma`mun dan KH Hasbiyallah, Klender.
”Begitu besar kiprah dan jasa para ulama Betawi, seharusnya umat Islam, khususnya di Betawi, memajang foto-foto mereka di rumahnya masing-masing sehingga mereka tetap dikenang,” ujarnya.
Sebagai narasumber kedua di sesi ini, yaitu Prof Dr KH Ahmad Baso, penulis buku Islam Nusantara, memberikan materi "Tantangan Ulama Nusantara di Era Global". Dia menyebutkan, kata Betawi telah dituliskan dalam bahasa Arab sebagai Darul Islam oleh seorang ulama dari kalangan habaib sejak awal abad ke-19.
Dengan demikian, Betawi merupakan salah satu wilayah penting bagi penyebaran dan perkembangan Islam di nusantara. Para ulama nusantara terdahulu, mereka telah mampu menunjukkan kemampuan dan kapasitasnya dengan menjadi guru, pengajar di Kota Makkah. Ironisnya saat ini, justru kita di Indonesia kebanjiran paham dan ulama dari luar negeri.
Seharusnya, kita seperti ulama terdahulu yang menyinari dunia dengan pemikiran dan karya-karyanya. Karena itu, bukan hanya foto ulama saja yang harus ada di rumah kita, tetapi juga karya-karya ulama nusantara, terutama karya ulama Betawi. Namun, yang terpenting, ulama Indonesia, khususnya di Jakarta, harus dapat menulis, memiliki karya tulis yang dapat dibaca oleh bangsa lain dalam bahasa Inggris dan Arab.