REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Barat (NTB) Ahsanul Khalik mengatakan, hari raya Idul Fitri 2019 dapat menjadi momentum bagi masyarakat NTB untuk membangun kebersamaan menghadapi ujian setelah bencana gempa pada tahun lalu. Warga diimbau untuk berempati kepada korban terdampak.
"Momentum lebaran kita bangun kebersamaan, terlebih NTB sedang mengalami situasi kondisi bencana maka kita tumbuhkan semangat kebersamaan itu," ujar Ahsanul di Mataram, NTB, kemarin.
Bencana gempa yang melanda NTB sejak akhir Juli 2018 mengakibatkan sekitar 216 ribu rumah penduduk rusak. Dengan rincian 75 ribu rumah rusak berat, 33 ribu rumah rusak sedang, dan 108.306 rumah rusak ringan.
Tujuh dari 10 kabupaten di NTB terdampak gempa, meliputi Kota Mataram, Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat di Pulau Lombok; serta Kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa di Pulau Sumbawa.
Dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah memberikan bantuan stimulan untuk warga terdampak gempa dengan nominal Rp 50 juta untuk rumah rusak berat, Rp 25 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp 10 juta untuk rumah rusak ringan.
Ahsanul menyampaikan dampak gempa mengakibatkan banyak masyarakat NTB yang menjadi pengungsi. Berdasarkan UU no 24 tahun 2007 tentang penganggulangan bencana, pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.
Terdapat tiga kategori pengungsi. Pertama, pengungsi komunal yang merupakan beberapa orang atau KK pengungsi yang tinggal bersama-sama dalam satu lokasi yang sama yang diakibatkan gempa 2018. Jumlah individu dan KK untuk dikategorikan sebagai pengungsi komunal dalam pendataan ini ditetapkan minimal 16 individu atau 4 KK.
Kategori kedua ialah pengungsi non-komunal atau pengungsi yang memilih untuk mengungsi secara mandiri (baik di halaman rumah, di atas rumah yang sudah hancur ataupun lainnya) dengan kategori jumlah pengungsi kurang dari 16 individu atau 4 KK. Sedangkan katagori ketiga ialah pengungsi yang mengungsi di tempat tinggal kerabatnya (teman, saudara, ataupun kerabat lainnya) di mana jumlah minimum individu ataupun KK tidak dikategorikan.
"Berdasarkan definisi dan kriteria diatas, jumlah penduduk yang masih mengungsi hingga pendataan ini dilakukan adalah 347,454 Jiwa dari 86,540 KK, di mana 52 persennya adalah wanita dan 48 persennya adalah pria," kata Ahsanul.
Ahsanul melanjutkan, dari total 347.454 jiwa yang mengungsi tersebut, 17.647 jiwa dari 5.390 KK mengungsi di pengungsian terpusat (komunal); 319.423 jiwa dari 79,824 KK mengungsi di pengungsian yang tersebar; dan 10,384 dari 1,873 KK mengungsi di rumah kerabatnya.
"Penyebaran pengungsi ini berbeda dengan yang selama ini ditemukan, di mana pengungsi lebih memilih untuk tinggal bersama kerabatnya," ucap Ahsanul.
Hal ini kemungkinan tidak terlepas dari pola persebaran penduduk di Lombok terutama masyarakat suku Sasak yang lebih memilih untuk mendirikan lokasi tinggal berdekatan dengan rumah kerabatnya dibanding harus jauh dengan para kerabat.
Ahsanul menambahkan, jumlah pengungsi tersebar di tujuh kabupaten dan kota di NTB, meliputi Lombok Utara dengan 201,200 jiwa atau 50,163 KK, Lombok Timur sebanyak 70,857 jiwa atau 17,566 KK, Lombok Barat dengan 55,506 jiwa atau 13,810 KK, Lombok Tengah sebanyak 12,966 jiwa atau 3,216 KK, dan 288 jiwa atau 66 KK di Kota Mataram.
Selain di lima kabupaten dan kota di Pulau Lombok, terdapat sebanyak 4,222 jiwa atau 1,035 KK yang masih mengungsi di Kabupaten Sumbawa dan 891 jiwa atau 215 KK yang mengungsi di Kabupaten Sumbawa Barat.
"Melihat banyaknya penduduk yang masih mengungsi saat ini, keberadaan manajemen tempat pengungsian menjadi sangat krusial guna memastikan terpenuhinya hak-hak pengungsi," ungkap Ahsanul.