Rabu 12 Jun 2019 16:30 WIB

Aktor Kerusuhan Diharap tak Dikaitkan Korps

Penanganan purnawirawan terlibat kerusuhan merupakan proses hukum biasa.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Warga melintas di wilayah terdampak kerusuhan Aksi 22 Mei di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Kamis (23/5/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Warga melintas di wilayah terdampak kerusuhan Aksi 22 Mei di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Kamis (23/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Aktivis HAM yang juga ketua Setara Institute, Hendardi menilai pengungkapan aktor-aktor kerusuhan 21-22 Mei oleh Mabes Polri merupakan bentuk upaya transparansi Polri dalam penanganan peristiwa hukum. Menurutnya hal itu untuk meningkatkan akuntabilitas penyidikan terhadap beberapa orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

“Betapapun keterangan tersebut diragukan oleh beberapa pihak, pemaparan publik oleh Polri telah memberikan pembelajaran berharga bagi warga negara tentang arti penting demokrasi, kebebasan berpendapat, dan nafsu politik para avonturir politik serta conflict entrepreneur yang beroperasi di tengah kekecewaan sebagian publik dan kerumunan massa,” kata Hendardi dalam pers rilis yang  diterima Republika.co.id pada Rabu (12/6).

Baca Juga

“Pengungkapan yang dilakukan oleh Mabes Polri di bawah koordinasi Tim Irwasum Polri, memang kurang ideal untuk memperkuat independensi dibanding misalnya dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Tetapi pembentukan TGPF biasanya didasari oleh tidak bekerjanya ordinary institution yang diberi mandat oleh Konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Sepanjang institusi existing sudah bekerja, maka pembentukan TGPF pun menjadi tidak relevan,” katanya.

Menurut Hendardi upaya hukum yang dilakukan Polri dan menjerat sejumlah purnawirawan TNI dan Polri sepatutnya  dipandang sebagai proses hukum biasa dan tak dikaitkan dengan korps atau semangat jiwa korsa para purnawirawan.

“Tidak perlu dikaitkan dengan korps atau semangat jiwa korsa para purnawirawan. Dalam konteks Pemilu, jiwa korsa hanya dibenarkan untuk membela demokrasi konstitusional yang tunduk pada supremasi sipil melalui Pemilu, bukan pertunjukan anarki yang mengorbankan jiwa-jiwa yang buta politik, sebagaimana terjadi pada 21-22 Mei lalu,” katanya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement