REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei Lembaga pengukur tingkat kemacetan kota-kota di dunia, TomTom Traffic Index, menyebut tingkat kemacetan DKI Jakarta menurun hingga delapan persen. Adanya penurunan indeks tersebut membuat Jakarta turun tiga level sebagai kota termacet di dunia. Jika pada 2017 lalu berada di peringkat empat, pada 2018 Kota Jakarta turun ke posisi tujuh.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko mengatakan, penurunan hasil survei TomTom tersebut berdasarkan perkembangan pembangunan di bidang transportasi oleh gubernur maupun Pemerintah Provinsi DKI.
"Ya seperti beroperasinya beberapa underpass dan flyover yang dibangun, penutupan perlintasan sebidang kereta api, serta kebijakan ganjil-genap yang diperluas area dan diperpanjang waktunya," kata Sigit kepada Republika, Senin (17/6).
Kemudian, dia melanjutkan, Jalan Thamrin dan Sudirman juga akan didesain ulang sehingga makin lebar tanpa adanya jalur lambat. Lalu, ada program Jak Lingko yang merangkul angkutan umum dalam manajemen Dishub DKI.
"Biar tidak ada yang ngetem sembarangan karena sudah mengacu pada sistem rupiah per kilometer. Membuka rute-rute baru untuk area layanan Transjakarta," ujar dia.
Sementara itu, kata dia, Transjakarta juga terintegrasi dengan angkutan perkotaan dan mewadahi program Jak Lingko. Transjakarta pun terintegrasi dengan moda raya terpadu (MRT) dan lintas rel terpadu (LRT) saat beroperasi.
Sigit berharap pada survei 2019 nanti akan makin besar persentase penurunan kemacetannya. Pasalnya, MRT sudah beroperasi dan disusul juga dengan LRT. Lalu, integrasi angkutan umum dalam program Jak Lingko bersama Transjakarta juga sudah berjalan.
"Upaya lebih kepada perluasan dan pengembangan integrasi angkutan umum melalui Jak Lingko. Untuk ERP atau jalan berbayar masih proses tender," kata dia menambahkan.
Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi DKI Jakarta, Syarifuddin, mengatakan, hasil penurunan kemacetan mencapai delapan persen pada Juni 2018 merupakan capaian yang bagus. Ia menambahkan, dengan transportasi publik yang disediakan, warga berpindah memakai transportasi umum.
"Sekarang harus menghadirkan trasportasi profesional seperti Transjakarta dengan (pengumpan) feeder-feeder-nya," kata Syarifuddin.
Ia melanjutkan, pengumpannya nanti bisa melalui Koperasi Wahana Kalpika (KWK), metromini, dan Kopaja. Nanti semuanya menjadi kendaraan pengumpan. Lalu, pembayarannya melalui uang elektronik. Sementara itu, melalui Transjakarta, penumpang bisa menyambung ke LRT lalu bisa lanjut pindah ke MRT.
Syarifuddin menambahkan, pasti banyak warga yang menggunakan moda transportasi umum yang sudah disediakan. Terkait sistem jalan berbayar atau ERP, ia mengaku pembahasannya sudah selesai. Namun, masih ada kendala yang sedang dalam proses.
"Masih dalam masalah pelelangan. Harus selesai, tidak boleh tidak selesai. Jika ada jalan berbayar, pasti warga menghindar dan menggunakan transportasi umum," kata dia meyakinkan.
Sebelumnya, lembaga pengukur tingkat kemacetan kota-kota di dunia, TomTom Traffic Index, mengumumkan tingkat kemacetan DKI Jakarta menurun hingga delapan persen. Karena itu, Ibu Kota menempati posisi ketujuh dari sebelumnya di posisi keempat sebagai kota termacet di dunia.
Dikutip dari situs resmi TomTom Traffic Index, level kemacetan Jakarta menjadi 53 persen pada 2018 dari angka 61 persen pada 2017. Penurunan sebesar delapan persen inilah yang membuat Jakarta menjadi kota dengan tingkat penurunan macet paling besar di dunia.
Disebutkan pula bahwa kemacetan terparah di Jakarta terjadi pada 15 Februari 2018 dengan tingkat kemacetan rata-rata 95 persen. Saat itu, banjir diketahui terjadi di sejumlah Ibu Kota yang memengaruhi lalu lintas di ruas jalan yang menimbulkan kemacetan.
Sementara itu, tingkat kemacetan paling rendah terjadi pada 18 Juni 2018 dengan persentase hanya delapan persen. Bertepatan dengan tanggal tersebut adalah hari raya Idul Fitri sehingga jalanan Ibu Kota lengang karena sebagian besar warga mudik dan meninggalkan Jakarta.
Direktur Eksekutif Institut Transportasi (Intrans) Deddy Herlambang mengkritik survei tersebut. Pasalnya, survei itu dilakukan pada hari raya Idul Fitri 18 Juni 2018 ketika sebagian warga Jakarta mudik. Jika Lebaran telah usai dan kembali ke hari normal, kemacetan bisa meningkat kembali.
"Kami masih belum tahu metode TomTom Traffic Index yang disurvei pada jam siang atau jam-jam sibuk. Lalu, di jalan mana saja? Kalau masih hari Lebaran jelas masih sepi karena banyak yang mudik," kata Deddy.
Kemudian, ia mengaku saat ini pada jam-jam sibuk, kemacetan pagi dan sore hari memang menurun karena sudah ada rekayasa lalu lintas yaitu ganjil-genap. Namun, peraturan itu diterapkan hanya di jalan-jalan protokol Jakarta.
Deddy melanjutkan, saat ini kemacetan menurun akibat pergeseran angkutan pribadi ke angkutan umum, bukan perpindahan antarmoda angkutan umum. Maka, menurut Deddy, survei perlu dibarengi dengan pengguna di kereta rel listrik (KRL), bus rapid transit (BRT), serta lowdeck bus atau MRT.
"Ke depannya untuk mengurangi kemacetan di DKI Jakarta, bisa dengan penerapan sistem electronic road pricing (ERP) yang ditindaklanjuti serius dan switching ke angkutan umum," ujar dia.