Rabu 19 Jun 2019 20:58 WIB

64 Persen Start Up Mengaku Kesulitan Susun Keuangan

Akuntan harus membuat dirinya relevan untuk masyarakat dan entitas bisnis.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Angggota Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia yang juga dosen FEB UNPAD Ersa Tri Wahyuni menyebutkan, rata-rata perusahaan digital memiliki masalah dalam menyusun laporan keuangan.
Foto: foto: Istimewa
Angggota Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia yang juga dosen FEB UNPAD Ersa Tri Wahyuni menyebutkan, rata-rata perusahaan digital memiliki masalah dalam menyusun laporan keuangan.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Indonesia sebagai negara dengan perkembangan start-up posisi kedua di dunia. Hal ini, menjadi kabar gembira bagi kita semua masyarakat Indonesia, karena menandakan kreatifitas dan minat pelajar, mahasiswa dan anak muda Indonesia di bidang bisnis digital. 

Namun, menurut Angggota Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia yang juga dosen FEB UNPAD Ersa Tri Wahyuni, rata-rata perusahaan digital memiliki masalah dalam menyusun laporan keuangan. Pasalnya, ada beberapa transaksi dan aset yang bingung dalam proses pencatatan laporan keuangannya.

"Sebagai anggota DSAK IAI, saya diminta pendapat terkait permasalahan ini. Dalam riset yang saya dilakukan, saya menemukan 64 persen kalangan start-up mengakui kesulitan dalam penyusunan laporan keuangan dan menganggap laporan keuangan sebagai isu yang krusial," ujar Ersa saat Focus Group Discussion dengan mengangkat tema “Akuntasi di Era Revolusi Industri 4.0 yang digelar oleh Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) bekerja sama dengan Pranadipta Consulting, belum lama ini.

Ersa mengatakan, aplikasi Revolusi Industri 4.0 dalam bidang start-up ditinjau dari sudut pandang akuntansi dan proses penyusunan laporan keuangan adalah depelovement cost yang dapat dikapitalisasi. Serta, tidak harus di expand asal memenuhi persyaratan yang cukup ketat sebagaimana diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) untuk aset tak berwujud. 

"Saat ini PSAK 19 membatasi pengakuan aset tak berwujud yang dibangun sendiri kecuali berhasil memenuhi syarat yang ketat," katanya.

Selain itu, kata dia, proses ‘bakar uang’ yang dilakukan oleh perusahaan start-up untuk user acuitition dalam pencatatannya bisa dikapitalisasi dengan syarat adanya kepastian dan keyakinan bahwa user dari start-up itu akan menghasilkan revenue.

Menurut Ersa, akuntan harus terus berusaha membuat dirinya relevan untuk masyarakat dan entitas bisnis. Selama akuntan mampu memberikan nilai dan berkontribusi kepada masyarakat, maka selamanya profesi ini akan terus ada. 

Fungsi utama seorang akuntan, kata dia, harus mampu mengkomunikasikan keadaan ekonomi perusahaan kepada decision maker. Akuntan harus memahami bahwa tools yang dipakai dalam bekerja itu sudah beragam danup-to-date. Akuntan pun, harus faham penggunanaan big data analytic dalam penyusunan laporan keuangan.

"Oleh sebab itu akuntan harus paham dan belajar penggunaan, pemanfaatan dan mengkomunikasikan hasil analisis big data keuangan," kata Ersa.

Di tempat yang sama, Erick dari JMT Law House mengatakan, jumlah pengguna/user menjadi patokan yang paling penting. Number of Users itu menjadi patokan yang paling penting dalam bisnis di era revolusi Industri 4.0, untuk menghitung value bisnis digital start-up bisa dihitung dari number of users-nya. 

Erick mencontohkan, jika untuk satu user itu dinilai enam dollar dengan asumsi number of users Gojek sejumlah 2 juta orang, maka value bisnisnya senilai 12 juta dollar. "Tinggal yang menjadi permasalahan apakah Number of Users itu bisa masuk laporan keuangan? Hal itu masih menjadi perdebatan," katanya.

Tentu saja, kata dia, dalam hal ini IAI harus menjawabnya dengan regulasi dan panduan yang memadai untuk menjawab permasalahan ini. Karena, dahulu akuntansi menulis dengan berpatokan pada transaction base. Maka aset yang dibeli tahun 1980 dilaporan keuangan pada 2000 nilainya masih sama dengan nilai saat transaksi. Masalah ini sudah diselesaikan dengan regulasi yang baru bahkan sekarang sudah future transaction base. 

Jadi, kata dia, akuntan tidak lagi hanya menjadi pencatat tapi juga sebagai penilai. Dengan demikian, prinsip dan model kerja akuntan selalu berubah dikarenakan model bisnis dan ekonomi yang mengalami peningkatan dan perubahan.

Wakil Direktur PT Hutchison 3 Indonesia, Danny Buldansyah mengatakan, di Era Revolusi Industri 4.0 mengharuskan kita untuk berinovasi dan berdaptasi untuk bisa bertahan. Dalam waktu yang relatif singkat Gojek dan Grab mampu mengalahkan nilai ekonomi yang dimiliki oleh Bluebird atau penyedia jasa armada taksi konvensional. Padahal, mereka tidak punya satupun kendaraan sebagai armadanya.

"Penemuan bisnis model yang relatif baru mengharuskan setiap orang dari profesi apapun harus menjawabnya dengan perubahan paradigma dalam menyelesaikan masalah termasuk dalam bidang akuntansi,” paparnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement