JAKARTA — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengaku masih menunggu hasil uji balistik peluru yang menewaskan korban dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019. Komisioner Komnas HAM Amiruddin mengatakan, selain uji balistik, pihaknya juga menunggu hasil uji forensik terhadap korban. Menurut dia, uji balistik untuk mengetahui jenis senjata yang menewaskan korban.
Amiruddin menuturkan, pengungkapan jenis senjata sangat pentimg untuk mengetahui terduga pelaku penembakan. Namun, Komnas HAM tak dalam kewenangan melakukan penyelidikan dan penegakan hukum terhadap pelaku penembakan meskipun nantinya jika Komnas HAM sudah mengetahui hasil akhir investigasi.
“Komnas HAM hanya bekerja untuk pengungkapan. Untuk yang lainnya, seperti penegakan hukum, itu penyelidikannya ada di kepolisian,” ujar Amiruddin saat dihubungi, Rabu (19/6).
Amiruddin menambahkan, fokus Komnas HAM juga bukan pada korban yang meninggal dunia. Menurut laporan yang sampai ke Komnas HAM, kata dia, ada sekitar 70-an orang yang hilang saat peristiwa 21 sampai 23 Mei.
“Angka korban hilang itu bukan dari Komnas HAM, tetapi ada yang melaporkan ke Komnas HAM,” kata dia menambahkan.
Terkait hal itu, Komnas HAM pun berusaha melakukan investigasi dan pencarian. Namun, persoalannya, kata dia, dari laporan 70-an orang hilang tersebut, tak semuanya valid. “Ada laporan orang hilang yang orangnya memang benar enggak pernah ada saat kita cek. Ada juga data dari laporannya itu tidak lengkap yang membuat kita kesulitan untuk ditemukan,” ujar dia.
Ia menambahkan, ada juga orang yang dikatakan hilang tetapi terbukti ada dalam tahanan kepolisian. “Sebagiannya ini memang ada,” kata Amiruddin menambahkan.
Komnas HAM tak ingin pengungkapan kerusuhan 21-22 Mei 2019 berujung gelap atau menjadi catatan peristiwa semata. “Kita ingin agar ini terungkap semua, terbongkar semua. Jangan seperti kasus 98 (pelanggaran HAM 1998),” kata dia.
Karena itu, kata dia, agar pengungkapan kerusuhan tersebut terang benderang, ia meminta semua pihak yang memiliki informasi tak risih jika dimintai keterangan dalam penyelidikan.
Sementara itu, tim investigasi Mabes Polri masih kesulitan menemukan jenis senjata yang digunakan untuk menembak korban kerusuhan 21-22 Mei 2019. Uji balistik dari proyektil yang ditemukan dari sejumlah korban penembakan sudah dilakukan.
Namun, hasil dari pusat laboratorium (puslabfor) belum mengarah pada kesimpulan jenis senjata yang digunakan untuk menyasar korban kerusuhan pasca-Pilpres 2019 tersebut.
“Untuk uji balistik dari proyektil yang ditemukan sudah dilakukan. Cuma senjata yang digunakan untuk menembakkan itu masih didalami,” kata Karo Penmas Mabes Polri Dedi Prasetyo saat ditemui wartawan di gedung humas Mabes Polri, Jakarta, Rabu (19/6).
Ia mengungkapkan, tim uji balistik memiliki tiga proyektil yang diambil dari korban-korban kerusuhan.
Jenis pelurunya adalah kaliber 5,56 milimeter dan 9,00 mm. Dua proyektil 5,56 mm ditemukan dari beberapa korban yang meninggal dunia, sedangkan proyektil 9,00 mm dari korban yang selamat. Namun, kata Dedi, untuk proyektil 9,00 mm, tim uji balistik kesulitan dalam pengujian.
“Yang 9 mm itu tingkat kerusakannya cukup parah, pecah, sehingga untuk menguji alur (keluarnya peluru dari senjata), itu ada sedikit kendala,” kata Dedi.
Meski demikian, kata Dedi, uji balistik memastikan peluru yang bersarang di tubuh korban tersebut merupakan jenis amunisi organik dan mematikan. Dedi mengakui dua jenis peluru tersebut pun biasa digunakan pada senjata yang dipakai oleh satuan Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, Dedi menegaskan, pada saat kerusuhan 21-22 Mei tak ada personel Polri maupun TNI yang menggunakan senjata api dengan amunisi tajam.
Meski dua jenis peluru itu awam dalam persenjataan personel Polri dan TNI, penggunaan amunisi 5,56 mm dan 9,00 mm tersebut juga dapat berfungsi pada senjata-senjata rakitan. “Cuma ciri khasnya kalau itu senjata rakitan lebih sulit untuk dilakukan uji balistik karena senjata rakitan ada yang memiliki alur, ada yang tidak,” ujar Dedi.
Jika merupakan standar pabrikan, kata Dedi, senjata tersebut dipastikan memiliki alur amunisi yang jelas. Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian pernah mengungkap proyektil yang ditemukan dari dalam tubuh korban kerusuhan memiliki alur peluru yang sudah teridentifikasi. “Yang ditemukan yaitu 5,56 mm (milimeter) dengan pulir empat ke kanan dan (proyektil) 9 milimeter,” tutur Tito, pekan lalu di silang Monas, Jakarta, Kamis (13/6).
Mantan kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim kepada Republika juga pernah menyampaikan bahwa proyektil dari kaliber 5,56 mm adalah amunisi dari jenis senjata serbu. Peluru dengan kaliber tersebut biasanya dipasangkan dalam senjata M-16, M-4, atau AR-15. Senjata produksi lokal, seperti SS-1 dan SS-2, pun, kata Zacky, menggunakan peluru yang sama.
“Kaliber ini umumnya digunakan banyak jenis senjata serbu sebagai pengganti kaliber 7,62 mm yang lebih besar,” kata Zacky, Senin (17/6). Adapun kaliber 9,00 mm, menurut Zacky, peluru yang biasa ditanam dalam senjata laras pendek berjenis pistol FN-42 versi militer. Jenis-jenis senjata yang Zacky sampaikan tersebut pun sampai hari ini masih digunakan oleh satuan Polri maupun TNI. (ed: agus raharjo)