REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Para analis mengecam paket ekonomi yang menjadi bagian dalam rencana perdamaian Israel-Palestina. Paket ekonomi tersebut dirilis oleh Gedung Putih pada Sabtu (22/6) lalu, dan akan dipresentasikan dalam konferensi di Bahrain pada pekan ini.
Paket ekonomi yang ditawarkan oleh Amerika Serikat (AS) tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah utama yang mengekang ekonomi Palestina, yakni pendudukan militer Israel. Seorang analis yang berbasis di Haifa dan mantan penasihat hukum untuk negosiator perdamaian Palestina, Diana Buttu mengatakan, pendekatan ekonomi tidak dapat menyelesaikan konflik Palestina-Israel.
"Mereka (AS) telah menyusun rencana yang optimal yang ingin dillihat oleh semua pihak yang terlibat dalam pembangunan ekonomi. Namun, hal ini tidak berlaku bagi Palestina, karena mereka tidak memasukkan konteks politik," ujar Buttu kepada Aljazirah, Senin (24/6).
Paket ekonomi tersebut membeberkan mengenai usulan rencana investasi sebesar 50 miliar dolar AS untuk Palestina, Mesir, Lebanon, dan Yordania. Rencananya, dana tersebut akan digunakan untuk 179 proyek infrastruktur dan bisnis termasuk membangun sektor pariwisata Palestina. Selain itu, dana tersebut juga rencananya akan digunakan untuk pembangunan koridor transportasi yang menghubungkan Jalur Gaza dan Tepi Barat
Banyak pihak yang menyesalkan bahwa rencana pembangunan koridor transportas tersebut merupakan rencana lama yang telah didaur ulang. Gagasan untuk membangun koridor transportasi pertama kali muncul sekitar 2005, ketika organisasi riset, RAND mengusulkan untuk membangun jalur kereta 'The Arc'. Jalur kereta tersebut menghubungkan Gaza dengan kota-kota lain di Tepi Barat.
Pembangunan koridor transportasi tersebut ditujukan untuk membangun pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Namun, proyek koridor transportasi itu tidak pernah terwujud karena adanya komplikasi politik. Seorang rekan kebijakan Palestina di Al-Shabaka, Yara Hawari mengatakan, paket ekonomi yang diumumkan oleh penasihat Gedung Putih, Jared Kushner bukan usulan baru.
"(Rencana ekonomi Kushner) merupakan campuran ide-ide lama, bukan sesuatu yang baru. (Rencana itu) digambarkan sebagai perspektif baru yang tidak akan pernah terwujud," ujar Hawari.
"Anda akan melihat bahwa program yang mereka gunakan dalam rencana itu adalah program dari USAID, program yang dipotong oleh administrasi Trump, ini yang sangat ironis. Meyakinkan rakyat Palestina terhadap rencana ini pada dasarnya meyakinkan mereka untuk mengambil insentif ekonomi dengan imbalan hak-hak mereka," kata Hawari menambahkan.
Sebuah laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2016 menemukan bahwa wilayah perekonomian yang diduduki oleh militer Israel mencapai dua kali lipat. Palestina belum memiliki kontrol kedaulatan penuh atas ekonomi mereka karena pasar domestik yang terfragmentasi dan pemisahan dari pasar internasional, blokade di Gaza, perluasan permukiman ilegal Israel, pembangunan penghalang atau pemisahan di wilayah Palestina dan isolasi di Yerusalem Timur. Di bawah hukum internasional, Israel sebagai wajib mendorong pembangunan ekonomi untuk Palestina di wilayah yang didudukinya.
Analis Sam Bahour berpendapat, perekonomian Palestina tidak goyah karena kurangnya investasi. Namun, perekonomian Palestina merosot akibat pendudukan militer Israel.
"Kami tidak perlu konferensi ekonomi untuk menunjukkan kepada kami proyek-proyek besar [yang dapat membantu] perekonomian Palestina. Kami sudah tahu apa itu. Apa yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana kita bisa menghilangkan pembatasan yang telah ditempatkan pada kami oleh Israel dengan dukungan total dari AS, " kata Bahour.
Dalam sebuah postingan blog, Bahour telah membuat daftar 101 tindakan yang dapat dilakukan oleh Israel untuk mengurangi ketegangan, termasuk rencana ekonomi yang mencakup ide-ide seperti pembangunan universitas dan pembangunan jaringan telekomunikasi 5G. Bahour mengatakan, butuh 12 tahun untuk memperkenalkan jaringan telekomunikasi 3G ke Palestina.