REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Kelompok Taliban mengancam perusahaan media massa di Afghanistan yang mempublikasikan berita bernuansa sentimen anti-jihad dan anti-Taliban. Mereka mengatakan media yang melakukan hal demikian tidak akan aman.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Senin (24/6), Taliban memberi waktu sepekan kepada televisi, radio, dan perusahaan penerbitan lainnya untuk menghentikan apa yang mereka sebut sebagai propaganda anti-Taliban. Jika tak mematuhi peringatan itu, media massa terkait akan dipandang sebagai target serangan yang sah.
“Dalam kasus seperti itu, wartawan atau karyawan dari organisasi media yang disebut ini tidak akan aman,” kata Taliban, seperti dilaporkan laman Aljazirah.
Taliban menuding terdapat gerakan atau upaya intelijen Afghanistan untuk memanfaatkan media massa dalam rangka mengubah pandangan masyarakat terhadap kelompoknya. Namun, mereka tak menjelaskan secara terperinci tentang hal tersebut.
Pemerintah Afghanistan diketahui telah secara teratur membayar organisasi media untuk menyiarkan iklan berisi permintaan agar warga di sana menghubungi pihak berwenang dengan informasi mengenai serangan atau siapa yang melakukannya. Hal itu, tampaknya menjadi salah satu alasan mengapa Taliban melayangkan ancaman kepada perusahaan media di negara itu.
Pada Januari 2016, seorang anggota Taliban melakukan aksi bom bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya ke bus yang membawa karyawan Tolo TV. Ia merupakan stasiun televisi swasta paling populer di sana. Indisen tersebut menewaskan tujuh wartawan.
Taliban pun sempat mengungkap alasan mengapa menargetkan karyawan Tolo TV. Mereka mengklaim stasiun televisi tersebut mempromosikan nilai-nilai budaya asing yang vulgar atau tak senonoh.
Selama ini, para pekerja media di Afghanistan memang berada dalam bayang-bayang ancaman. Mereka tak hanya harus menghadapi potensi serangan Taliban, tapi juga milisi ISIS.