REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah penumpang Grab di Jakarta tidak setuju akan rencana penerapan sistem denda bagi penumpang yang membatalkan pesanan perjalanan. Ada banyak hal yang menyebabkan perjalanan dibatalkan baik oleh penumpang ataupun pengemudi.
"Enggak setuju, soalnya kadang bukannya kita sengaja, memang ada kesalahan, misal salah memasukkan lokasi, atau tiba-tiba mau dijemput teman jadi batal," kata salah satu pengguna setia Grab asal Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Momo pada Sabtu (29/6).
Selain Momo, ada juga Syifa penumpang yang tiap harinya menggunakan Grab untuk mobilisasi ke kantor. Menurutnya, sistem ini akan merugikan penumpang, karena bisa saja pengemudi Grab yang nakal memanfaatkan sistem ini agar penumpang terus terkena denda.
"Bagaimana kalau misal pengemudinya sengaja mengulur waktu sampai lebih dari lima menit hingga akhirnya kita yang sedang terburu-buru terpaksa harus membatalkan perjalanan," kata Syifa.
Sebelumnya, Grab menerapkan sistem baru yakni denda bagi pelanggan yang membatalkan perjalanan per 17 Juni 2019. Uji coba baru dilakukan di dua kota yakni Lampung dan Palembang selama satu bulan.
Sistem baru ini bertujuan menghargai upaya dan waktu mitra pengemudi yang telah menuju lokasi jemput penumpang. Seluruh biaya pembatalan akan diberikan kepada mitra pengemudi bersangkutan.
Grab memberlakukan biaya pembatalan pada kondisi tertentu. Jika pembatalan pemesanan terjadi dalam waktu kurang dari lima menit, penumpang tidak akan dikenai biaya pembatalan.
"Lebih baik kalau memang tetap akan diputuskan peraturan itu, tidak masalah penumpang membayar denda, namun pengemudi juga harus sampai sebelum lima menit, kalau lebih dari lima menit dia yang denda ke penumpang, supaya adil dan tidak ada kecurangan," tambah Syifa.
Pendapat berbeda disampaikan Kiki, penumpang Grab lain asal Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sistem ini menurutnya sebenarnya baik untuk pengemudi Grab yang sering kali merugi akibat segelintir penumpang yang tidak bertanggung jawab selalu membatalkan perjalanan semaunya.
"Sebenarnya ada bagusnya juga sih, namun kalau memang perlu diterapkan sistem itu, lebih baik diadakan dulu semacam himbauan atau peraturan ketat untuk para pengemudi agar tidak memanfaatkan sistem ini untuk mencari keuntungan sehingga malah merugikan penumpang," ujar Kiki.
Ada pula Aria Cindyara, penumpang Grab asal Tanjung Barat, Jakarta Selatan yang hampir tiap hari menggunakam Grab untuk ke kantor. Menurutnya, sistem ini lebih tepat diterapkan pada menu Grab Food (pengantaran makanan) daripada jasa berkendara.
"Kalau untuk Grab Food oke bisa kena denda, tapi diberikan pertauran yang ketat ke vendor makanannya, misal kalau toko sudah tutup atau makanan habis segera perbarui di sistem, supaya driver tidak terlanjur sudah sampai restoran jadi harus dibatalkan," ucap Aria.