REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga garam di tingkat petambak di pantai utara Jawa Barat anjlok. Tak tanggung-tanggung, garam kini hanya dihargai Rp 300 per kilogram. Bahkan, tidak menuntut kemungkinan garam bisa menyentuh level Rp 50 per kilogram mengingat panen raya akan segera datang.
"Tentu kami sangat mengkhawatirkan dengan terus anjloknya harga garam," kata Toto, petambak garam di Desa Rawaurip, Kabupaten Cirebon.
Menurut Toto, jika stok garam melimpah, sangat dimungkinkan bisa mencapai titik terendah, bahkan tidak laku karena sekarang saja sudah murah. "Kalau sekarang Rp 300 per kilogramnya, mungkin saat panen raya, bisa hanya dihargai Rp 50 per kilogram," tuturnya.
Dia berharap pemerintah segera mencarikan solusi untuk para petani garam. Dengan begitu, kesejahteraan para petani garam bisa terjaga.
Sementara itu, petambak lain, Rasmu, mengatakan bahwa harga Rp 300 per kilogram sangat tidak sesuai. Karena tidak bisa mengganti tenaga yang sudah dikeluarkan oleh para petani.
Menurut dia, harga ideal garam adalah Rp 1.000 per kilogram. Meskipun demikian, pihaknya masih terus menggarap tambak garamnya, sebab hanya itu mata pencahariannya. "Daripada nganggur mending menggarap lahan, ya walaupun sebenarnya, harga garam saat ini tidak layak," katanya.
Stok menumpuk
Petambak garam di Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Robedi, menyebutkan, garam sisa produksi 2018 yang masih menumpuk di daerahnya mencapai sekitar 30 ribu ton. Menurut dia, kondisi itu terjadi karena permintaan garam pada 2018 lalu sangat rendah.
"Jarang sekali ada yang mau beli garam. Bahkan penyerapan garam dari perusahaan-perusahaan juga tidak ada sama sekali,’’ tutur Robedi.
Robedi mengatakan, para petambak garam di daerahnya saat ini pun sudah memulai kembali masa panen garam 2019. Namun, mereka kebingungan karena hal itu membuat tumpukan garam semakin bertambah. "Tidak tahu ini garamnya mau ditaruh dimana. Garam tahun kemarin saja masih belum laku," tutur Robedi.
Ketua Asosiasi Petani Garam (Apgasi) Jawa Barat, M Taufik, menjelaskan, kondisi garam petambak yang tak laku terjual dan harganya jatuh itu tersebar di daerah sentra garam di Jabar, yakni Cirebon dan Indramayu. Adapun jumlahnya mencapai puluhan ribu ton.
Garam yang menumpuk tersebut merupakan sisa produksi garam pada 2018. "Kondisi itu terjadi karena regulasi pemerintah yang tidak berpihak pada nasib petambak garam," ujar Taufik kepada Republika.co.id, Rabu (3/7).
Taufik menjelaskan, pada 2018 lalu, pemerintah mengimpor garam. Namun, impor dilakukan tanpa pengawasan yang ketat. Akibatnya, garam impor merembes ke berbagai sektor yang sebenarnya menjadi pangsa pasar bagi garam lokal.