Ahad 21 Jul 2019 06:54 WIB

Bagaimana Menutupi Defisit BPJS Kesehatan?

Sampai kapan BPJS Kesehatan akan terjerat defisit?

Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menunjukkan Aplikasi Mudik BPJS Kesehatan di Lhokseumawe, Aceh, Senin (4/6).
Foto: Antara/Rahmad
Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menunjukkan Aplikasi Mudik BPJS Kesehatan di Lhokseumawe, Aceh, Senin (4/6).

REPUBLIKA.CO.ID, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diperkirakan akan mengalami defisit anggaran senilai Rp 28 triliun pada tahun ini. Angka itu naik lebih 100 persen dibandingkan defisit tahun lalu yang masih berada di kisaran Rp 9 triliun. Hitungan ini berdasarkan iuran yang diterima BPJS Kesehatan dikurangi dengan biaya pelayanan kesehatan.

Sampai kapan BPJS Kesehatan akan terjerat defisit? Pertanyaan yang cukup mudah untuk dijawab. Karena defisit akan terus terjadi bila sumber pemasukan BPJS masih akan seperti saat ini. Hal itu karena dana yang terkumpul dari iuran peserta tidak mencukupi untuk operasional BPJS Kesehatan.

Baca Juga

Kita memahami bahwa cara tercepat untuk menyelesaikan persoalan defisit di BPJS Kesehatan adalah dengan menaikkan iuran peserta. Namun, kenaikan iuran bukanlah cara yang bijak. Kenaikan iuran akan menyebabkan beban masyarakat bertambah. Padahal, kita sama-sama mengetahui kondisi ekonomi nasional yang belum membaik membuat ekonomi masyarakat masih cukup berat.

Negara sudah seharusnya turun tangan untuk mengatasi masalah defisit BPJS ini dengan lebih serius. Ada kesan bahwa pemerintah tidak begitu tanggap mengatasi masalah yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan. Padahal, program yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan merupakan amanat undang-undang.

Opsi yang diambil pemerintah selalu dengan cara menyuntik dananya. Namun, sumber untuk menyuntik defisit BPJS setiap tahun berbeda. Dari semua sumber dana menutup kekurangan BPJS Kesehatan tersebut, bukan dari dana alokasi subsidi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Data di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan, untuk menutup defisit BPJS pada 2015 sebesar Rp 5 triliun dan pada 2016 Rp 6,8 triliun, dilakukan penyertaan modal negara kepada BPJS Kesehatan. Sementara, pada 2017 untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan, dianggarkan APBN dalam pos belanja lain-lain sebesar Rp 3,6 triliun. Pada 2008 defisit ditutup dari dana cadangan APBN sebesar Rp 10,25 trliun.

Ke depan, pemerintah dan dewan harus memikirkan solusi sumber dana yang tetap dalam APBN untuk menutupi defisit tersebut. Ini penting dilakukan karena BPJS Kesehatan tidak mungkin dibiarkan untuk menutupi defisit tersebut dengan cara mengambil sumber dana dari kenaikan tarif iuran peserta. Kalau ini terjadi, kenaikan iuran peserta akan cukup besar dan itu akan membuat masyarakat sangat terbebani.

Untuk itu, baik pemerintah maupun dewan sudah seharusnya memikirkan sumber dana untuk menutup defisit kesehatan melalui pos subsidi di APBN. Kita sama-sama tahu selama ini APBN cukup besar menganggarkan dana subsidi untuk energi. Seharusnya kita juga menerapkan kebijakan yang sama di bidang kesehatan. Artinya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus sepakat bahwa subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) sama pentingnya untuk subsidi kesehatan masyarakat.

Jika akhirnya ada pos subsidi untuk kesehatan, ini merupakan sesuatu yang baru. Karena program BPJS Kesehatan pun baru dimulai pada 2014 atau lima tahun lalu. Berbeda dengan subsidi BBM yang sudah diterapkan pemerintah pada zaman Orde Baru saat pemerintahan dipimpin oleh Presiden Soeharto. Meski demikian, program BPJS Kesehatan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Masyarakat akan menilai negara hadir di tengah mereka ketika mereka membutuhkan layanan kesehatan yang tersedia di program BPJS ini.

Kita juga berharap BPJS Kesehatan pun melakukan berbagai perbaikan untuk menjalankan program kesehatan ini menjadi lebih efisien. BPJS Kesehatan harus mampu menutup semua lobang inefisiensi sehingga tidak ada anggaran yang mubazir akibat pengelolaan yang kurang profesional.

(Tajuk Koran Republika, Sabtu 20 Juli 2019.)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement