REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kembali mengalami defisit yang diperkirakan mencapai Rp 28 triliun akhir tahun ini.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, dibutuhkan solusi komprehensif untuk mengatasi problem ini.
"Yaitu sesuai dengan PP 87 tahun 2013, juncto p 84 tahun 2015. Jika program ini ingin sustainable maka kebijakan PP 87 tahun 2013 harus dilakukan," ujarnya, kemarin.
Ia menyebut ada beberapa opsi yang disebut dalam PP itu. Pilihan itu diantaranya adalah pertama menyesuaikan iuran. Kedua menyesuaikan manfaat, dan ketiga memberikan suntikan dana.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengaku terlambat membayar klaim pelayanan kesehatan pada rumah sakit (RS) mitra hingga obat-obatan karena tidak memiliki dana atau anggaran yang cukup.
"Kami terlambat bayar karena uangnya memang tidak cukup, apalagi iurannya juga belum sesuai hitungan aktuaria. Jadi kami bukannya ingin mangkir atau melakukan wanprestasi," kata Iqbal Anas Ma'ruf.
Apalagi, ia mengatakan, komitmen BPJS Kesehatan untuk membayar klaim pelayanan kesehatan tertuang dalam setiap pasal perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak yaitu fasilitas kesehatan dan BPJS kesehatan.
Ia menjelaskan, dalam kontrak BPJS Kesehatan menyatakan jika terlambat membayar ke rumah sakit (RS) maka akan terkena denda ganti rugi 1 persen dari total klaim yang harus dibayarnya setiap bulan.
"Artinya kalau banyak denda yang harus dibayarkan, BPJS Kesehatan juga rugi," ujarnya.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) mencatat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan belum membayar klaim rumah sakit (RS) mitra sebesar Rp 6,5 triliun per tanggal 14 Juli 2019. Karena itu, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) beserta asosiasi perumahsakitan berencana untuk mendatangi presiden agar segera membenahi defisit BPJS Kesehatan yang diperhitungkan bisa mencapai Rp 28 triliun hingga akhir tahun 2019.
"Kami nanti menyampaikan kepada presiden risiko-risiko, kemudian berharap enam bauran itu tetap dilakukan, kemudian premi segera disesuaikan. Jangan nunggu lama-lama, tarif juga demikian," kata Ketua Umum Persi Kuntjoro Adi Purjanto saat ditemui di diskusi Persi bertema "Defisit BPJS Kesehatan dan dampaknya pada keberlangsungan pelayanan Rumah Sakit”,di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa (16/7).
Selain itu, ia menyebut Persi akan menyampaikan solusi untuk membenahi defisit BPJS Kesehatan. Untuk jangka pendek, ia meminta BPJS Kesehatan harus segera menyelesaikan piutang pada rumah sakit, salah satu solusinya dengan melaksanakan enam bauran.
Sementara untuk jangka panjang, Persi menyarankan untuk penyesuaian tarif dan iuran premi. Sebab premi iuran saat ini jauh berbeda dengan perhitungan aktuaria. Selisih premi pun menjadi salah satu penyebab defisit BPJS Kesehatan.
"Di samping membuat permohonan untuk menghadap (presiden), saya berharap ini viral. Ini berkiatan dengan pasien, bukan hanya rumah sakit. Akibatnya itu pasien," ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Persi Daniel Budi Wibowo menambahkan, banyak RS mitra BPJS Kesehatan mengalami hambatan dalam melayani pasiennya yang merupakan peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) karena keterlambatan pembayaran piutang BPJS Kesehatan.