REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Anak Nasional yang jatuh pada tiap tanggal 23 Juli hendaknya menjadi momentum untuk membentengi anak dari radikalisme, perlakuan yang salah, penelantaran, narkoba, dan pornografi. Hal itu dikarenakan anak telah menjadi objek utama dalam penyebaran radikalisme dan perlakuan negatif lainnya.
“Intinya perlindungan anak sebetulnya sudah menjadi agenda dan prioritas pembangunan nasional sehingga idealnya anak terlindungi dari radikalisme, perlakuan negatif, juga bahaya narkoba. Tapi faktanya, radikalisme yang melibatkan anak-anak terus terjadi, juga kekerasan terhadap anak. Terbukti dari rilis dari lembaga perlindungan anak, data-data keterlibatan anak dalam radikalisme dan lain-lain terus meningkat,” ujar mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Advianti, SP, di Jakarta, Rabu (24/7).
Untuk itu, ia mengajak semua pihak agar Hari Anak Nasional dijadikan momentum untuk lebih serius membentengi anak dari penyebaran radikalisme. Ini penting karena meski sudah ada peraturan perundangan yang ideal tentang perlindungan anak, tapi faktanya radikalisme dan kekerasan yang menyasar anak-anak terus terjadi bahkan cenderung meningkat. Itu menjadi bukti bahwa ada kesenjangan dalam implementasi pelaksanaan perundangan tersebut. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama yang harus mendapat prioritas baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Ia menjelaskan, anak memang menjadi obyek yang sangat mudah terpapar radikalisme karena anak sangat mudah menyerap doktrin. Selain itu, anak cenderung lebih loyal dari orang dewasa sehingga mudah menjadi radikal.
“Bila hal yang disampaikan itu terus menerus dan dianggap benar dan mutlak, bila orang dewasa tidak langsung diserap tapi mencari referensi yang lain. Kalau anak itu bisa dianggap kebenaran yang absolut sehingga tidak mencari referensi lain. Inilah yang membuat anak mudah didoktrin atau ‘termakan’ propaganda radikalisme, tanpa mereka menyadari,” ungkap Maria.