REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) perlahan-lahan membuka komunikasi dengan lawan-lawan politiknya. Mulai dari bertemu dengan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, ketua umum Partai Gerindra sekaligus rivalnya, Prabowo Subianto. Terakhir, Jokowi dikabarkan bakal bertemu dengan ketua umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Namun, ada satu partai pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga yang belum diajak berkomunikasi yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Padahal, perolehan suara PKS dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2019 memperoleh 11.493.663 atau 8,21 persen. Angka ini tentu lebih baik dibanding suara Demokrat yang mendapatkan 10.876.507 atau 7,77 persen dan PAN dengan 9.572.623 atau 6,84 persen.
Dosen Komunikasi Politik Universitas Brawijaya, Anang Sudjoko menilai salah satu alasan pemerintah terkesan tidak membuka komunikasi dengan PKS karena jejak rekamnya. "PKS dikenal sebagai partai yang sampai saat ini identik dengan real opposition political party. Ada parpol di koalisi pengusung Jokowi yang anti-PKS dan parpol ini sangat kuat posisinya," ujar Anang saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (30/7).
Tidak hanya itu, Anang menilai, bahwa PKS merupakan partai yang tidak mudah diajak bermain. Kemudian, partai dakwah itu juga dikenal sebagai satu-satunya komitmen dengan Islam.
Fakta ini membuat PKS terancam berjuang sendirian menjadi oposisi. Sehingga bakal merugikan PKS, karena jika kader menempati posisi di eksekutif bisa menjadi 'mesin politik, uang'.
"Tetapi ini bisa menjadikan PKS sebagai partai yang konsisten dan ini bisa berbuah pada militansi yang semakin tinggi pada diri simpatisan," ucap Anang.
Terkait pertemuan antara Jokowi dengan SBY, Anang menduga, presiden masih menunggu pertimbangan dari partai-partai koalisi pendukungnya. Karena, Jokowi harus bersikap hati-hati, ia tidak ingin keputusan politiknya memicu perpecahan di internal koalisi partai pendukung pemerintah. Termasuk pertimbangan apakah Partai Demokrat bakal memberikan keuntungan atau tidak.
"Juga pertimbangan apakah kehadiran Partai Demokrat tidak akan mengganggu komposisi kementerian kalau dia gabung. Apa yang diberikan Partai Demokrat pada pemerintahan Jokowi jilid dua ke depannya," jelas Anang.
Anang memperkirakan jika Gerindra bergabung sebenarnya koalisi pendukung pemerintah sudah sangat kuat. Kendati demikian, Jokowi juga harus mendengarkan dari partai-partainya sebelum mengambil keputusan. Apalagi pertemuan Jokowi-SBY nanti diduga berkaitan dengan kepentingan Demokrat di masa mendatang.
"Pastinya (Demokrat) menganggap pertemuan Jokowi-SBY sangat penting karena akan membawa kepentingan untuk Partai Demokrat itu sendiri. Termasuk untuk diakomodasi dalam kabinet ke depan," tutup Anang.
Wakil Ketua Dewan Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid (HNW) menyatakan, publik seharusnya berterima kasih lantaran masih ada partai yang mau mengambil sikap oposisi. Menurutnya, dengan demikian demokrasi berjalan dengan sehat.
"Dengan cara itu maka harapan dengan adanya demokrasi yang lebih berkualitas, demokrasi yang lebih substantif akan bisa dilaksanakan," kata HNW di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/7).
PKS pun kemungkinan tetap akan berpegang pada hasil keputusan majelis syuro sebelumnya yang menyatakan, bahwa PKS tetap pada sikap berada di luar pemerintahan. PKS akan menggelar rapat majelis syuro dalam waktu yang belum ditentukan, dan kecil kemungkinan PKS akan mengubah sikapnya.
"Ya menurut saya sih malah kemungkinan akan makin menguatkan keputusan ada di luar kabinet," kata Hidayat.
Hidayat menuturkan, Presiden PKS Sohibul Iman juga telah beberapa kali bertemu dengan konstituen PKS di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Dari hasil pertemuan tersebut diketahui bahwa mayoritas konstituen mengingkan agar PKS tetap berada di oposisi.
Menurutnya, mengambil sikap oposisi bukanlah sesuatu yang melanggar konstitusi. Ia mengingatkan, bahwa PDI Perjuangan juga pernah berada di luar pemerintahan selama 10 tahun pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Kalaupun sekarang PKS berada di luar kabinet nggak perlu dianggap sebagai suatu hal yang dalam tanda kutip harus dicurigai dan dipersekusi atau diposisikan sebagai suatu hal," tutur wakil ketua MPR tersebut.