REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Cina menyebut bahwa Hong Kong menghadapi situasi terparah sejak wilayah itu dikembalikan Pemerintah Inggris ke Pemerintah Cina pada 1997. Sementara itu, Australia memperingatkan warganya yang berkunjung ke Hong Kong bahwa ada risiko kekerasan meletup di wilayah tersebut.
"Bisa dikatakan bahwa Hong Kong menghadapi situasi paling parah sejak serah terima," kata kepala kantor Kabinet Cina yang mengurusi Hong Kong, Zhang Xiaoming, Rabu (7/8).
Zhang hadir dalam seminar di Kota Shenzhen, yang lokasinya berseberangan dengan Hong Kong. Sekitar 500 orang hadir dalam seminar tersebut, termasuk sejumlah petinggi Hong Kong dan Pemerintah Cina daratan.
Unjuk rasa di Hong Kong dinilai Zhang kian kasar dan makin berdampak pada masyarakat umum. Menurut Zhang, Beijing merasa amat prihatin dengan situasi terakhir di Hong Kong. Mereka sedang mempertimbangkan langkah yang akan diambil.
Selepas pertemuan, sejumlah peserta mengatakan bahwa Zhang sempat mengutip pidato tokoh Cina Deng Xiaoping pada 1984 dan 1987. Deng mengatakan, jika ada kerusuhan meletup di Hong Kong, pemerintah pusat harus mengintervensi.
Pada Rabu, Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam dilaporkan hadir dalam pembukaan pameran yang memperingati 70 tahun berdirinya Republik Rakyat Cina. "Dalam beberapa bulan terakhir, kondisi masyarakat Hong Kong sangat tidak stabil," kata Lam dalam pernyataan tertulis.
"Pemerintah daerah administrasi khusus tentu akan bersama Anda untuk menanganinya dengan tenang, memulihkan ketertiban umum, menjaga penegakan hukum, dan merayakan Hong Kong, merayakan satu negara dua sistem, dan merayakan rumah kita," katanya.
Sementara itu, Australia memperingatkan warganya yang sedang berkunjung ke Hong Kong. Australia menyebut adanya potensi kekerasan meletup di Hong Kong dan warganya diminta berhati-hati. Di sisi lain, Inggris, Irlandia, dan Jepang sudah mengeluarkan peringatan berupa travel warning sejak Juli.
Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia menyatakan bahwa ada risiko konfrontasi dengan kekerasan antara pengunjuk rasa dan polisi atau individu yang terkait aksi kriminal, khususnya dalam unjuk rasa yang tanpa izin.
Hong Kong diserahkan kembali ke China pada 1997 dengan kerangka politik satu negara dua sistem. Hal ini membuat Hong Kong diperbolehkan memiliki kebebasan politis, sipil, dan perekonomian yang berbeda dari Cina daratan.
Namun, warga Hong Kong merasa Beijing makin mencampuri kebebasan mereka. Protes di Hong Kong dipicu oleh rencana Pemerintah Hong Kong untuk meloloskan rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi.
RUU tersebut memungkinkan pelaku kriminal untuk menjalani proses hukum di China daratan. Warga Hong Kong menilai proses hukum di Cina daratan tidak adil dan ada kemungkinkan terjadi penyiksaan.
Unjuk rasa mulai berskala besar pada 9 Juni. Belakangan, tuntutan pengunjuk rasa meluas, termasuk menuntut Kepala Eksekutif Carrie Lam mundur. Sejauh ini China daratan masih belum mengintervensi aksi-aksi di Hong Kong.
Namun, muncul spekulasi bahwa China akan mengerahkan personel militernya ke Hong Kong. Spekulasi muncul setelah petinggi Cina menunjukkan salah satu pasal dalam undang-undang Hong Kong yang memungkinkan pasukan Cina yang memang ditempatkan di Hong Kong untuk bertindak demi ketertiban. Hal ini bisa terjadi jika diminta Pemerintah Hong Kong. n ap/reuters, ed: Yeyen Rostiyani