Jumat 09 Aug 2019 17:55 WIB

MUI: Peternakan Ayam Lokal Masih Minim Halal

Jumlah RPH ayam yang telah terstandarisasi halal sebanyak 22 RPH.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Peternak memberi makan ayam petelur di peternakan ayam kawasan Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat, Jumat (28/6/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Peternak memberi makan ayam petelur di peternakan ayam kawasan Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat, Jumat (28/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mengeluhkan minimnya kesadaran halal di sektor peternakan ayam mandiri. Selain minimnya halal di rumah potong hewan (RPH) ayam, standar halal di sektor peternakan jauh dari kata layak.

Wakil Direktur Bidang Sosialisasi dan Informasi LPPOM MUI Osmena mengatakan, standarisasi halal di sektor peternakan ayam mulai dari RPH hingga perlakuan terhadap hewan masih rendah. Kendati demikian, dia menyebut terdapat sejumlah RPH yang sudah terstandarisasi halal MUI.

Baca Juga

“Jumlahnya (yang sudah tersertifikasi) masih kecil,” kata Osmena saat dihubungi Republika, Jumat (9/8).

Sertifikasi halal RPH ayam maupun aspek lainnya yang mencakup sektor peternakan menurut dia relatif mudah didapat. Misalnya, dari segi pembiayaan admnistrasi, standarisasi halal seperti pengajuan sertifikat halal sudah cukup mudah didapatkan.

Permasalahannya adalah, kata dia, apakah yang bersangkutan benar-benar berkomitmen mengurus halal itu atau tidak. Menurut dia sejauh ini MUI telah berupaya mendekatkan pelaku peternakan dengan aspek halal.

Salah satunya adalah dengan memberikan pelatihan dan bimbingan mengenai juru sembelih halal (Juleha) bersama Kementerian Pertanian (Kementan). “Kita dorongnya itu dari pelatihan Juleha, belum lama ini kita juga kerja sama dengan IPB (Institut Pertanian Bogor) untuk melatih 100-an orang lebih Juleha,” kata dia.

Dia melanjutkan, dorongan untuk mensertifikasi halal RPH ayam dilakukan seiring dengan perlakuan yang cenderung sembarangan terhadap hewan potong oleh para jagal. Misalnya, kata dia, tak sedikit juru sembelih ayam di RPH tersebut yang merokok, tak bersih, dan tidak memotong mati ayamnya dengan benar.

“Jadi ada yang dilempar saja itu ayam, yang penting mati,” kata dia.

Artinya, kata dia, sertifikasi halal di sektor peternakan juga harus dilandasi komitmen dan keinginan yang kuat juga dari para peternak. Di sisi lain dia juga mendorong pemerintah melalui Kementan dan dinas pertanian di daerah untuk menggenjot sosialisasi standar halal dari hulu ke hilir sektor peternakan.

Umumnya produksi sektor peternakan yang kualitas halalnya masih rendah ada di sektor pasar tradisional. Hal berbeda justru terjadi di sektor ritel di mana hampir keseluruhan sektor market tersebut menerapkan standarisasi halal yang ketat.

“Jadi memang yang tradisional ini masih riskan, masih kita upayakan," kata dia.

Berdasarkan catatan LPPOM MUI, sepanjang 2019 terdapat RPH ayam yang telah terstandarisasi halal sebanyak 22 RPH. Menurut Osmena, biaya standarisasi halal dari MUI relatif dan paling kompetitif di dunia. Sehingga permasalahan yang ada hanyalah bukti keseriusan dan komitmen peternak untuk segera mendaftarkan RPH-nya ke MUI.

Dia mengakui bahwa sertifikasi halal merupakan salah satu penguat bagi sektor produsen ayam lokal dalam menunjukkan daya saing produksi di kancah global. Terlebih saat ini, kata dia, pemerintah sudah membuka keran impor ayam asal Brasil.

Ke depan dia berharap pemerintah dapat berkolaborasi dengan sektor peternakan mandiri untuk menggalakkan lagi proteksi di sektor halal.

Seperti diketahui, saat ini pemerintah membuka keran impor ayam asal Brasil. Langkah itu dilakukan sebagai respons pemerintah terhadap kemenangan sengketa gugatan Brasil ke World Trade Organisation (WTO) sejak 2014. Pada 2017 Brasil memenangkan gugatan tersebut dan Indonesia belum juga membuka keran impor, sehingga kasus ini diseret kembali ke WTO.

Salah satu yang menjadi sorotan mengenai perkara ini adalah pertimbangan kesehatan dan kehalalan daging ayam asal Brasil. Diketahui, impor daging ayam Brasil tidak bisa masuk ke Indonesia sebab tidak mengantongi sertifikasi santasi internasional dan sertifikat halal.

Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Samhadi menilai, masuknya daging ayam impor itu bakal berefek pada peternak lokal. Menurut dia, daging ayam impor Brasil bakal membanjiri daging ayam beku atau cold chicken dan dampaknya akan langsung terasa oleh penyuplai pabrik ayam olahan.

“Yang paling bahaya itu penjualan  paha ayam yang harganya bisa sangat murah jika dibandingkan yang di dalam negeri,” kata dia.

Dalam jangka panjang, dia menilai, dibukanya keran impor daging ayam bakal berpengaruh terhadap minimnya penyerapan di dalam negeri. Sehingga hal itu akan mengerek gejolak harga ayam di tingkat peternak dalam beberapa bulan ke depan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement