Kamis 15 Aug 2019 14:25 WIB

BPS: Perlambatan Ekspor dan Impor Perlu Diwaspadai

Neraca ekspor impor Indonesia pada Juli mengalami defisit 63,5 juta dolar AS.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja ekspor dan impor nasional sejak Januari hingga Juli 2019 mengalami pelemahan dibanding tahun lalu seiring masih berlangsungnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Badan Pusat Statistik (BPS) meminta pemerintah untuk segera melakukan identifikasi terhadap komoditas yang bisa diandalkan demi memanfaatkan peluang pasar.

"Kita perlu identifikasi komoditas-komoditas tertentu untuk AS dan China. Kita tidak boleh hanya melihat ekstrnal, tapi internal perlu pembenahan," kata Suhariyanto dalam Konferensi Pers di Jakarta, Kamis (15/8).

Baca Juga

Mengutip laporan terakhir BPS, total ekspor pada bulan Januari hingga Juli 2019 mencapai 95,79 miliar dolar AS. Angka tersebut mengalami penurunan 8,02 persen dari periode sama tahun lalu.

Lebih rinci, ekspor migas anjlok 21,77 persen. Di sektor nonmigas, ekspor pertanian turun 0,16 persen. Sementara, ekspor industri pengolahan melemah 4,28 persen serta barang tambang dan lainnya turun hingga 17,09 persen.

Sementara ini, ekspor produk nonmigas menyumbang 91,94 persen dari total ekspor, dimana industri berkontribusi 74,82 persen. "Struktur ekspor masih bergantung pada komoditas mentah (nonmigas). Kita harus terus menerus melakukan upaya hilirasi," kata Suhariyanto.

Sementara itu, kondisi pelemahan dari sisi impor juga terjadi. BPS menyatakan, total impor sepanjang Januari-Juli mencapai 97,68 miliar dolar AS. Namun, capaian itu nyatanya turun 9 persen dibanding nilai impor pada periode sama tahun lalu yang menyentuh 107,35 miliar dolar AS.

Impor migas mencapai 12,6 miliar dolar AS turun dibanding periode sama tahun lalu yang mencapai 16,72 miliar AS. Sementara, untuk impor barang konsumsi juga turun 10,22 persen. Diikuti penurunan impor bahan baku 9,55 persen dan barang modal 5,71 persen.

Namun, yang menjadi konsentrasi dari penurunan impor tersebut terdapat pada bahan baku dan barang modal. Sebab, keduanya menjadi cerminan kondisi industri dalam negeri dalam kegiatan produksinya.

Menurut Suhariyanto, hilirasi masih menjadi isu utama dalam membenahi neraca perdagangan Indonesia. Sebab, lewat hilirasi penyediaan lapangan pekerjaan bisa ditingkatkan dan industri turunan bisa dikembangkan.

Karena itu, menurut dia, pemerintah harus terus melanjutkan reformasi birokrasi berbagai perizinan agar upaya industrialisasi di dalam negeri bisa menjadi lebih efisien.

Sejauh ini, kata dia, telah banyak kebijakan baik yang diterbitkan pemerintah. "Tapi, untuk implementasinya kita perlu lebih awasi lagi," ujar dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement