REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Mahasiswa Papua di Kota Bandung mengaku trauma dan tidak nyaman dengan kondisi memanasnya isu rasialisme. Karena itu, ingin kembali pulang ke daerah asal mereka di Papua.
“Kami tidak merasa nyaman di Jawa dan kami sudah merasa trauma,” kata perwakilan Mahasiswa Papua, Tamelek Kosay ditemui di Asrama Mahasiswa Papua di Cilaki, Kota Bandung, Jumat (23/8).
Ia mengatakan rasa tidak nyaman dikarenakan merasa gerak-geriknya diawasi pasca konflik di Subaraya dan Malang. Mahasiswa Papua tidak lagi bebas karena merasa dipantau terutama oleh aparat kepolisian.
Selain itu, kata dia, beberapa kontrakan yang ditinggali mahasiswa Papua beberapa kali didatangi polisi. Polisi yang memeriksa identitas para mahasiswa tidak datang sekali atau dua kali.
“Karena ada kedatangan dari aparat ke kos-kos kemarin sempat terjadi juga di Bandung. Ada kontrakan putri Tolikara, ada juga kontrakan Sriwijaya itu pun yang sudah lapor ke kami kedatangan aparat. (Merasa) diawasi, minta KTP, minta handphonenya harus begini-begini. Pagi, siang, sore datang, makanya kami juga tidak terima dengan hal itu. Kawan-kawan kami juga jadi takut dan trauma,” tuturnya.
Ia menambahkan Gubernur Papua juga sudah mengintruksikan agar mahasiswa Papua pulang dan berkuliah di Papua. Untuk hal ini, ia mengaku sedang berkoordinasi dengan ikatan mahasiswa Papua di wilayah Jawa dan Bali.
“Gubernur Papua sudah menyiapkan tempat dan sudah mengambil sikap juga. Anak-anak segera pulang, saya siap menampung kalian di Universitas Cendrawasih dan Universitas Papua. Kami tunggu dari kawan Se-Jawa Bali kami menyepakati yang jelas kami pulang. Kami tidak merasa nyaman di Jawa,” tambahnya.
Soal jumlah mahasiswa Papua di Kota Bandung, ia mengaku tidak bisa memastikan jumlahnya. Ia hanya menegaskan seluruh mahasiswa Papua di Kota Bandung ingin pulang ke kampung halaman.