LENGKONG, AYOBANDUNG.COM—Jelang puncak kemarau, sejumlah daerah di Jawa Barat dilanda kenaikan harga pasaran beberapa komoditas hortikultura. Harga cengek alias cabai rawit serta bawang merah adalah beberapa yang dikeluhkan masyarakat.
Di Tanjungsari, Sumedang, misalnya, hingga Jumat (24/8/2019), harga pasaran cabai rawit masih berada di kisaran Rp85.000 per kilogram. Sementara itu, di Bekasi harga komoditas serupa tembus Rp99.000 per kilogram. Di Indramayu, cabai rawit juga dilaporkan berada di kisaran Rp100.000.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat Entang Sastraatmaja mengatakan, kenaikan komoditas cabai di musim kemarau salah satunya disebabkan oleh turunnya kuantitas produksi karena gagal panen. Hal ini menyebabkan peredaran komoditas tersebut di pasaran berkurang dan otomatis menyebabkan harga melambung.
Namun, lebih jauh daripada itu, dirinya menilai masih ada kesalahan cara berpikir baik dari pihak produsen maupun regulator dalam menyikapi pertanian di musim hujan maupun kemarau sehingga fenomena yang sama—harga naik saat kemarau, turun saat musim hujan—terus berulang.
AYO BACA : Respons KPPU soal Polemik Impor Bawang Putih
"Kesalahan kita adalah menyelesaikan masalah musim kemarau di musim kemarau. Di musim hujan, kita cari solusi musim hujan. Harusnya dibalik, permasalahan musim kemarau itu sudah terantisipasi sejak musim hujan. Ada mindset yang harus diubah," ungkapnya ketika dihubungi Ayobandung.com, sabtu (24/8/2019).
Salah satu hal yang dapat dilakukan di musim kemarau, dia mengatakan, adalah dengan menampung air di dalam embung pada musim hujan sehingga tidak akan kekeringan di musim kemarau.
"Pada saat musim hujan itu, air jangan dibuang percuma. Ditampung dalam bentuk embung-embung atau danau. Kalau tiap desa punya lima embung saja, pasti membantu saat musim kemarau," ungkapnya.
Sementara itu, pemerintah pun harus dapat mengatur kebijakannya agar dapat lebih berpihak pada petani. Pasalnya, dia menilai, saat ini hal yang lebih banyak diributkan adalah ketika harga komoditas melambung naik di pasaran.
AYO BACA : Pemerintah Genjot Ekspor Buah ke Tiongkok
"Kalau harga cabai turun enggak ada yang turun dan mempersoalkannya. Kalau mau bela petani, pada saat harga cabai turun pun harusnya jadi petimbangan. Tolong dianalisa, pemerintah mau berpihak ke mana, karena di balik itu pada saat harga turun petani juga menderita," ungkapnya.
Dirinya menutut, pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian serta pemerintah provinsi, dalam hal ini Provinsi Jawa Barat dapat mempertimbangkan kebijakan anggaran di bidang pertanian agar dapat diperbesar sehingga dapat terlokasikan dengan lebih memadai, salah satunya untuk pengembangan hortikultura yang dianggap masih 'dianatirikan'.
"Di Jabar kan anggaran untuk pertanian paling 3% dari APBD, dari dulu saya selalu teriak sekurang-kurangnya anggarkan 7.5%, harus dibangun keadilan dari politik anggaran kita," ungkapnya.
"Sekarang belum berpihak pada hortikultura, menurut saya berpihaknya baru pada beberapa komoditas saja. Hortikultura kan bukan sesuatu yang sangat diandalkan. Baru beberapa tahun saja ada sedikit perhatian pada cabai karena berpengaruh pada inflasi. Yang ditakuti itu saja, komoditas yang berpengaruh dengan makroekonomi kita," tambahnya.
Anggaran tersebut, Entang mengatakan, perlu dialokasikan baik untuk mengembangkan produksi melalui inovasi bibit maupun mengatur kebijakan harga yang lebih berpihak pada petani.
"Teknologi bibit perlu dikembangkan, harus coba diciptakan bibit tanaman yang tahan hujan dan kemarau. Selain itu pemerintah juga harus berani membuat harga dasar, sehingga kalaupun harga komoditas sedang jatuh, pemerintah puya kewajiban untuk membeli," pungkasnya.
AYO BACA : KPK Didesak Usut Program RIPH Bawang Putih Kementan