REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agama diturunkan oleh Tuhan adalah untuk memerdekakan manusia. Agama adalah untuk manusia sebagai anugerah dari Tuhan. Ajaran agama adalah pedoman yang ingin menghantarkan manusia menjadi manusia merdeka. Merdeka dari penjajahan, merdeka dari kekerasan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari fanatisme dan merdeka dari kemiskinan.
“Esensi dari agama yang diturunkan oleh Tuhan untuk memerdekan manusia itu sejatinya secara normatif semua agama itu sangat baik dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Karena agama itu pada akhirnya adalah apa yang ditafsirkan, dihayati dan dilaksanakan oleh manusia atau umatnya,” ujar Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) yang juga Cendikiawan Muslim, Prof Dr Komarudin Hidayat beberapa waktu lalu.
Menurutnya, agama itu sebenarnya merupakan bagian dari perilaku budaya dan politik. Dengan demikian masyarakat harus menyadari bahwa agama dan kekuatan agama merupakan suatu komunitas dan menjadi suatu yang realitas di Indonesia.
“Fenomena agama ini sebenarnya adalah fenomena global. Agama dan identitas itu global. Contohnya kalau di India ada Hindu, lalu di Amerika ada Kristen, lalu di Filipina ada Katolik dan di Arab ada Islam. Jadi fenomena keberadaan agama ini masalah Global,” ungkap Komarudin
Namun menurutnya, di era demokrasi dan globalisasi yang telah masuk di era digital ini kemudian manusia merasa menjadi insecure atau tidak aman. Ketika merasa tidak aman ini maka manusia ini mencari ‘rumah’. Dan ‘rumah’ yang paling akrab di mata manusia itu adalah etnis dan agama.
“Tetapi oleh para politisi, yang paling mudah disentuh emosinya itu ya agama ini. Oleh karena itu agama ini kemudian menjadi dikapitalisasi oleh politisi itu. Dan ini terjadi tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di mana pun. Nah yang menjadi persoalan itu kemudian ketika agama itu dikapitalisasi, maka manusia itu cenderung emosional,” ujar Komarudin
Menurutnya di era demokrasi itu manusia bukan bicara mengenai salah atau benar, tapi bicara suka dan tidak suka. Oleh karena itu pengerahan massa itu menjadi lebih menonjol dan program-program yang visioner dan intelektual justru malah tenggelam.
“Dan sekarang ini para tokoh-tokoh agama itu ditantang bagaimana agar mereka ini bisa menjadi aset, yaitu aset dari bangsa ini. Jangan sampai kemudian agama itu menjadi beban. Tetapi sekarang ini sayangnya dari sekian banyak komunitas agama itu bukan produktif, yang ada malah minta sumbangan,” kata pria kelahiran Magelang, 18 Oktober 1953 ini.