REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Ribuan orang kembali berkumpul di Hong Kong dalam aksi protes atas dugaan kekerasan seksual oleh polisi, Rabu (29/8). Aksi protes ini disisipi tagar #MeToo untuk mengakiri kekerasan seksual dan pelecehan terhadap perempuan.
Panitia aksi protes mengatakan, sekitar 30 ribu orang turut turun ke jalan. Sementara polisi setempat menyebut 11.500 orang yang berkumpul. Polisi Hong Kong mengatakan menghormati hak-hak pendemo yang yang ditahan dan belum menerima pengaduan resmi.
Peserta aksi mengatakan, mereka telah dianiaya oleh polisi. Menurut South China Morning Post, seorang wanita menangis menuduh polisi melakukan penggeledahan tidak sesuai aturan terhadapnya.
Namun, polisi membantah tuduhannya. Polisi mengatakan, rekaman video seorang wanita tersebut tidak mendukung. Pemrotes lain mengatakan, pakaian dalamnya dibuka ketika polisi menyeretnya. Bahkan polisi menyebutnya pelacur.
"Saya memberi tahu mereka saya mengenakan gaun dan meminta mereka membiarkan saya berjalan. Tapi, tentu saja, mereka abai. Saya tidak malu membicarakan apa yang terjadi malam itu, karena saya tak melakukan kesalahan. Saya bukan orang yang lemah. Saya tidak butuh orang untuk bersimpati denganku," ujarnya seperti dikutip BBC, Kamis (29/8).
Demonstrasi anti-pemerintah di Hong Kong meningkat menjadi bentrokan antara polisi dan para pendemo. Kedua belah pihak mengalami luka-luka. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet, sementara beberapa pendemo melemparkan batu, bom api, dan benda-benda lainnya ke arah polisi.
Pada Rabu lalu, polisi mengatakan, sebanyak kurang lebih 900 orang telah ditahan sejak protes dimulai tiga bulan lalu. Meski demikian, para pendemo telah berulang kali menuduh polisi melakukan kebrutalan dan mereka pun menuntut penyelidikan independen.
Protes dipicu atas penolakan RUU ekstradisi yang akan mengirim tersangka kriminal ke daratan China untuk diadili. Meski RUU ditangguhkan, protes meluas menjadi gerakan pro-demokrasi yang lebih luas. Beijing juga berulang kali mengutuk tindakan pendemo dan menyebut mereka melakukan aksi terorisme.