Jumat 30 Aug 2019 01:15 WIB

Keluarga Pendatang di Papua: Berlebihan Internet Mati

Akses internet selama ini menjadi alat komunikasi keluarga pendatang di Papua.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Friska Yolanda
Petugas kepolisian melepaskan tembakan gas air mata untuk menghalau massa saat berlangsungnya aksi unjuk rasa di Jayapura, Papua, Kamis (29/8/2019).
Foto: Antara/Indrayadi TH
Petugas kepolisian melepaskan tembakan gas air mata untuk menghalau massa saat berlangsungnya aksi unjuk rasa di Jayapura, Papua, Kamis (29/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terbatasnya akses internet di Papua dan Papua Barat membuat warga pendatang yang bekerja atau menetap di provinsi paling timur Indonesia itu kesulitas berkomunikasi. Warga pendatang di sana terpaksa hanya mengandalkan SMS dan sambungan telepon untuk bisa berkomunikasi dengan keluarga, kolega, atau rekan bisnis yang ada di luar Papua dan Papua Barat. 

Mita Ardana (27 tahun) misalnya. Ibu rumah tangga ini tak bisa berkomunikasi via panggilan video dengan suaminya yang bekerja di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Sudah sepekan ini, sejak tanggal 22 Agustus 2019, anak-anak Mita tidak bisa melihat wajah sang ayah. 

Baca Juga

"Awalnya Skype masih bisa digunakan, namun kini tidak bisa sama sekali. Di sana, internet sama sekali tidak bisa diakses, kecuali email kantor. Kok terkesan berlebihan seminggu lebih internet mati," ujar Mita yang kini tinggal di Yogyakarta, Kamis (29/8). 

Mita menambahkan, pembatasan akses internet ini terlihat berlebihan karena sudah berlangsung sepekan lamanya. Apalagi, ujar dia, banyak warga pendatang dari Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan daerah lain di Indonesia yang kini bekerja atau menetap di Papua dan Papua Barat. Mita menilai bahwa akses internet selama ini menjadi senjata utama para pendatang untuk berkomunikasi dengan keluarga di kampung halaman.

Seperti diketahui, Kemenkominfo masih belum mengetahui kapan akan membuka blokir akses internet di Papua. Pemblokiran layanan data atau internet di Papua akan berlangsung sampai situasi dan kondisi yang benar-benar normal.

Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu mengatakan berdasarkan evaluasi yang dilakukan pihaknya dengan aparat penegak hukum masih beredar informasi hoaks dan rasialisme. Berita bohong tersebut dikhawatirkan justru akan kembali membuat suasana di Papua kembali panas. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement