Kamis 29 Aug 2019 23:19 WIB

DPR: Tujuh Poin Polemik Revisi KUHP Harus Dikompromikan

DPR periode 2014-2019 optimistis revisi KUHP rampung sebelum masa jabatan habis.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Junaidi Mahesa.
Foto: Republika/Mutia Ramadhani
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Junaidi Mahesa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI tetap mengupayakan agar Rencana Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dapat diselesaikan di akhir periode 2014 - 2019, meski ada tujuh poin yang masih menjadi polemik. DPR menilai tujuh poin tersebut harus dikompromikan.

Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP Desmond Mahesa mengklaim, tidak ada lagi yang perlu dipermaslahakan dari RKUHP draf terakhir, yakni draf tanggal 28 Agustus 2019. Adanya tujuh poin yang belum disepakati, kata Desmond harus segera dituntaskan.

Baca Juga

"Dari tujuh poin yang belum disepakati bahwa tujuh poin itu harus dikompromikan dengan catatan-catatan," ujar dia di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Kamis (29/8).

Desmond mengatakan, Panja RKUHP telah melakukan rapat konsinyering pada Rabu (28/8) malam untuk membahas tujuh poin polemik itu. Menurut Desmond, berdasarkan rapat tersebut seharusnya sudah dapat dikerucutkan menjadi tiga atau dua poin.

Untuk mengesahkan RKUHP tahun ini, DPR punya tenggat sampai 24 September 2019. Dalam tenggat itu, Desmond menilai penuntasan tujuh poin polemik itu bisa diselesaikan.

"Dari proses ini menurut saya, dengan waktu yang hampir sebulan ini rasa nya terkejar ya karena pemerintah sudah menjelaskan," ucap poltikus Gerindra itu.

Desmond menepis anggapan bahwa pengesahan RKUHP ini seperti terburu-buru. Menurut Desmond, seluruh pembatasan RKUHP ini terukur. Ia mengakui adanya resistensi dari Aliansi Masyarakat Sipil yang meminta RKUHP tak terburu-buru disahkan.

"Sebenarnya sudah matang, cuma tinggal mempertemukan pemikiran-pemikiran Masyarakat sipil diaspirasi oleh DPR dan tentunya diaspirasi oleh pemerintah titik temu ini lah yang berbeda, walaupun masyarakat sipil tidak puas," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI itu.

Tujuh poin isu yang menjadi polemik terus dibahas oleh Panja. Isu pertama yang dibahas adalah hukum yang hidup di masyarakat atau hukum adat. Di RKUHP baru, ada aturan perbuatan yang menurut hukum setempat di daerah termasuk pelanggaran pidana adat.

Perkara kedua adalah terkait pidana mati. Di RKUHP baru, hukuman mati tetap ada, namun bukan lagi pidana pokok melainkan pidana khusus yang bersifat alternatif.

Ketiga yakni soal penghinaan terhadap presiden. Di RKUHP, penghinaan untuk presiden harus dengan delik aduan langsung dengan hukuman lebih tinggi daripada pasal penghinaan terhadap orang biasa.

Perkara keempat yakni soal pasal kesusilaan. Ada keringanan pemidanaan atas perzinahan. Selain itu, polemik LGBT dan perbuatan pencabulan akan dibahas secara lebih rinci. Lalu, perkosaan juga mengalami peluasan makna menjadi gender netral.

Kelima, yang menjadi perkara adalah tindak pidana khusus. Hal ini menjadi polemik ketika terorisme, korupsi, narkotika, yang ikut dimasukkan dalam RKUHP, yang menyebabkan pidana tersebut menjadi pidana umum.

Perkara keenam, yakni terkait ketentuan peralihan. RKUHP baru ini akan berlaku lewat UU sektoral selama 3 tahun sejak diundang-undangkan. Peraturan turunan, UU sektoral, dan lain lain, harus sudah ditindaklanjuti mengikuti aturan baru KUHP dalam waktu 3 tahun sejak KUHP diundangkan. Isu ketujuh, yakni soal ketentuan penutup.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement