REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menanggapi kontroversi yang ditimbulkan Ridwan Saidi soal status kerajaan Sriwijaya. Ia memandang Ridwan Saidi lebih cocok membahas sejarah Betawi saja.
Asvi menilai ahli sejarah punya spesifikasi keahlian tersendiri. Kerajaan Sriwijaya pun punya ahli sejarahnya tersendiri yang selama ini melakukan penelitian di sana.
Untuk Ridwan Saidi, menurutnya, tidak tepat membahas Kerajaan Sriwijaya. Selama ini, Ridwan Saidi memang lebih dikenal sebagai budayawan Betawi.
"Serahkan sesuatu kepada ahlinya. RS (Ridwan Saidi) bukan ahli sejarah Sriwijaya dan Tarumanegara. RS cocok jadi narasumber untuk sejarah Jakarta/Betawi," katanya pada Republika.co.id, Senin (2/9).
Sebelumnya, pernyataan Kerajaan Sriwijaya fiktif yang dilontarkan Ridwan di salah satu saluran Youtube sempat ramai diperbincangkan. Ridwan menyampaikan sejumlah alasan mengapa ia menganggap kerajaan Sriwijaya sebagai fiktif. Dalam salah satu paparannya, Ridwan menyebut bahwa Kerajaan Sriwijaya hanyalah bajak laut.
Asvi mengklarifikasi paparan Ridwan itu. Ia mengungkapkan pengertian istilah bajak laut terus mengalami perubahan. Sehingga kerajaan Sriwijaya tak bisa begitu saja disebut bajak laut karena memang sebagian masyarakatnya merupakan suku laut. Sehingga penduduk Sriwijaya terkenal ahli berperang di laut.
"Pengertian bajak laut itu berkembang dari masa ke masa. Buku AB Lapian berjudul 'Raja Laut, Bajak Laut dan Orang Laut' menjelaskan hal itu," ujarnya.
Merujuk pada buku tersebut, bajak laut diartikan sebagai sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara merampas barang dari kapal-kapal yang berhasil mereka bajak. Mengenai bajak laut yang terkenal di asia tenggara kushusnya di perairan Sulawesi adalah bajak laut Sulu, Mangindanao, Balangingi.
Bajak laut sering dikatakan sebagai tindak kejahatan karena mereka untuk mendapatkan segala sesuatu menggunakan cara kekerasan dan tidak jarang disertai dengan pembunuhan.