Ahad 08 Sep 2019 17:30 WIB

4 Upaya Sistematis Melemahkan KPK Menurut Kabiro Hukum

Kabiro Hukum KPK menyebut DPR dan pemerintah berupaya melemahkan KPK

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Karta Raharja Ucu
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan aksi Seribu Bunga SaveKPK saat gelaran Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad (8/9/2019).
Foto: Thoudy Badai
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan aksi Seribu Bunga SaveKPK saat gelaran Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad (8/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Rasamala Aritonang, menyebut pemerintah dan DPR sedang merancang upaya pelemahan KPK secara sistematis. Sebab, menurut dia saat ini ada empat upaya sistematis yang dilakukan untuk melemahkan KPK.

“Pertama, kasus Novel Baswedan, lalu kedua terkait Calon Pemimpin (Capim) KPK, ketiga rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), dan keempat revisi Undang-Undang (UU) KPK. Empat sistematis ini membuat KPK jadi semakin lemah,” katanya di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta Selatan, Ahad (8/9).

Baca Juga

Ia berkata, kasus Novel Baswedan hingga kini belum ada penyelesaian. Tidak ada gerakan untuk mencari tahu siapa pelakunya. Seakan-akan membiarkan saja kasus ini tidak pernah terjadi.

Padahal, menurut Rasamala, motif dari pelaku sangat penting untuk mengungkapkan kasus tersebut. Selain itu capim KPK yang memiliki rekam jejak tidak sesuai tugas pemimpin KPK, tidak diterima masyarakat.

Sedangkan RKUHP saat ini dilakukan secara terburu-buru. Ia mengaku sudah menyampaikan catatan terkait dimasukkannya delik korupsi dari UU sekarang yang kemudian dimasukkan ke dalam RKUHP di Pasal 603 sampai 607, terkait konsekuensi dan masalah terhadap upaya pemberantasan korupsi ke depan.

“Lalu, sekarang tentang revisi UU KPK, jelas merugikan KPK. Ada sejumlah poin kritikal dalam revisi undang-undang tersebut yang bisa melumpuhkan kinerja lembaga antirasuah itu,” kata dia.

Rasamala melanjutkan adanya dewan pengawas yang bertugas mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala satu kali dalam setahun. Lalu, KPK perlu meminta izin untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan.

Selama ini, hal tersebut dapat dilakukan tanpa melalui proses perizinan. Selain itu, adanya keharusan merekrut anggota penyelidik yang selama ini dari tim independen.

Adapun aturan yang mengharuskan KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan perkara dan kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk perkara yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. “Kalau nanti UU KPK ini disahkan. Saya pikir KPK tidak akan berproses atau bertindak seperti sekarang. Tidak ada kewenangan yang bisa mendorong penegakan hukum perkara korupsi seprogresif hari ini," ujar dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement