REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahap pemilihan calon pimpinan (capim) KPK telah memasuki babak uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di DPR RI. Namun, ada yang berbeda pada fit and proper test sebelumnya, yakni para capim KPK diminta untuk meneken kontrak politik sebagai komitmen mereka.
Peneliti komunikasi politik Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah menilai adanya kontrak politik yang harus diteken para capim KPK adalah sebuah intimidasi. "Tentu saja merupakan intervensi, bahkan lebih jauh sebagai intimidasi. Dengan menyetujui kontrak, artinya tiap capim akan menyetujui dengan dalih tidak ada pilihan lain, sementara hal itu dilakukan dalam proses seleksi," ujar Dedi Kurnia, saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (10/9).
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) itu, kontrak politik yang diminta DPR RI ke seluruh capim terpilih adalah cara paling kasar sejauh ini. Kondisi ini jelas intimidasi bagi capim.
Seharusnya, kata dia, tidak terjadi, kontrak politik itu andaipun diperlukan seharusnya muncul ketika pimpinan KPK terpilih sudah ditentukan. Sehingga, tidak membatasi idealisme capim saat dalam proses seleksi.
"Kontrak ini semakin menguatkan anggapan publik jika DPR RI sedang mengantisipasi pimpinan KPK yang sejalan dengan kepentingan DPR RI, bisa saja kontrak ini menjadi materi politik sandera. Tentu sangat disayangkan," tutur Dedi Kurnia.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani menyampaikan, bahwa kontrak politik tersebut dimaksudkan untuk menjamin komitmen para capim agar sewaktu-waktu tidak berubah sikap saat mendapat tekanan publik. Nantinya, kontrak politik secara tertulis itu akan ditandatangani di atas materai. Ia menuturkan, surat pernyataan tersebut akan menjadi semacam kontrak politik antara capim dengan DPR RI jika nantinya terpilih.